Terikat Takdir 6

13.1K 1.2K 44
                                    

Arlita menyuguhkan pisang goreng dan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap pada suaminya yang sedang duduk ditepi jendela, sambil memandang hamparan sawah dipagi hari. Embun-embun masih menempel di dedaunan membentuk kristal bening. Dulu Abimana selalu bermimpi, bisa hidup dengan suasana seperti ini. Hidup di pedasaan dengan udara yang sejuk karena masih banyaknya pepohonan, jauh dari polusi pabrik dan asap kendaraan. Namun, hidup di pedesaan yang di fasilitasi tekhnogi canggih, agar bisa terhubung dengan dunia luar. Bukan hidup didesa yang susah sinyal. Akan lebih menyenangkan jika hidup pedesaan, pola pikir masyarakatnya sudah maju, mengikuti perkembangan zaman.

"Makasih sayang atas suguhan paginya." ujar Abimana sambil mengedipkan matanya genit.

Arlita langsung mendelikan matanya, ketika mendengar kata 'sayang' tentu saja hal itu membuat Abimana tertawa lebar dan lebih bersemangat menggodanya.

"Kalau setiap pagi kamu menyiapkan cemilan kayak gini, aku pasti jadi makin cinta dan betah dirumah. Ah, ternyata menikah itu sangat manis sekali. Aku nyesel nggak nikah dari dulu."

"Mimpilah semaumu! Satu minggu lagi, aku harus sudah berangkat ke Jepang. Jadi jangan berkhayal aku bakal melakukan hal ini setiap pagi." Arlita masih belum bisa bersikap manis pada Abimana. Masih galak dan jutek.

"Lha, terus aku gimana, dong? Harusnya yang sudah menikah itu tinggal bersama. Ngapain juga nikah kalau jauh-jauhan. Dan kita belum melakukan apapun, harusnya kan..."

"Melakukan apa? Kamu kan sudah janji nggak bakal melakukan apapun sama aku!" teriak Arlita galak.

"Emangnya menurut kamu melakukan apa, pasti kamu mikirnnya kejauhan." Abimana menjentikan jarinya dikening Arlita. "Lagian kalau aku mau melakukan apa-apa juga, kamu sudah halal ini."

"Tauk ah." Arlita segera keluar kamar sebelum obrolannya dengan Abimana melebar kemana-mana. Abimana tersenyum bahagia, ternyata tidak sulit untuk menyukai Arlita.

Setelah kemarin berdiskusi dengan guru ngajinya dan Abimana banyak dinasehati, membuat ia berpikir ulang tentang pernikahan yang akan dijalaninya. Meskipun pernikahannya belum melibatkan hati, tapi sudah sah di hadapan allah dan sah menurut hukum. Dan Abimana merasa tidak menyesal pernikahannya dengan Amelia batal. Karena perempuan itu hanya mengandalkan kecantikan doang. Dan belum tentu ketika menikah, bisa menjadi istri yang diimpikan. Perempuan itu lebih memilih terus terbang seperti burung. Bahkan mungkin hinggap dari satu laki-laki kepelukan laki-laki lain.

Arlita kembali ke dapur membantu Bik Cicih yang sedang meracik sayuran buat persiapan makan pagi. Hari ini Bik Cicih berencana membuat sayur asem, pepes ikan peda, tempe goreng, ayam goreng bumbu lengkuas, rendang jengkol, dan sambal tomat ijo. Karena Bik Cicih tau apa makanan yang disukai Arlita yang lidahnya sangat ndeso.

"Neng Arlita nggak kerumah Jamilah?" tanya Bik Cicih yang baru selesai memarut lengkuas.

"Nggak tahu, Bik." jawab Arlita muram.

"Temuilah Neng, seburuk apapun Jamilah, dia tetap Ibunya, Eneng."

Arlita tampak termenung. Dia ingin bisa memaafkan dosa ibunya. Tapi setiap mengingat pengkhiatan itu, dadanya selalu sesak. Dan Arlita tidak punya memori yang indah tentang Ibunya. Dia bukan Ibu yang bisa dibanggakan seperti halnya Ibu yang dimiliki oleh teman-temannya. Wanita itu hanya menang di cantik dan rajin bersolek. Perangainya buruk. Sering berkata-kata kasar. Tak segan cubitan mendarat ditubuh Arlita kecil. Bukan juga Ibu yang pandai memasak yang selalu dirindukan hasil masakannya setiap ia pulang.

Masa kecil Arlita tidak pernah bahagia. Sosok Ibu, tidak lebih seperti monster jahat. Jika bukan karena ayah yang selalu jadi pelindungnya, ia sudah jadi remaja yang liar sebagai bentuk pemberontakan, karena tidak bahagia berada dirumah. Ia bisa menjadi baik karena Ayahlah yang banyak mengajarkan banyak hal kepadanya.

Terikat TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang