Terikat Takdir 5

13.7K 1.1K 33
                                    

Abimana mengejar Arlita yang berlari tak tentu arah, sampai akhirnya gadis itu kelelahan dan terduduk disebuah pematang sawah yang gelap. Suara isakan Arlita terdengar menyayat hati. Abimana tidak mengerti kenapa Arlita menangis. Laki-laki itu mendekat dan duduk disebelahnya. Malam terasa dingin di pesawahan yang disinari rembulan—yang beranjak menuju purnama. Suara kodok saling bersahutan mengisi sepinya malam, bersanding dengan desau angin meliukan daun-daun yang berwarna keperakan karena tersinari cahaya rembulan. Biasanya Abimana suka suasana seperti ini. Dulu dia pecinta gunung dan pernah aktif di MAPALA. Sangat menyenangkan bisa mentadabburi ciptaan Allah dalam suasana seperti ini.

"Ada apa Arlita? Apa yang membuat kamu menangis?" tanya Abimana lembut, saat suara isak Arlita sudah berhenti.

Arlita untuk beberapa menit terdiam, tidak menjawab pertanyaan Abimana. Dan laki-laki itu sabar menunggu.

"Yang paling benci dalam hidupku adalah ketika orang tuaku berpisah. Lebih tepatnya saat ayahku bangkrut, karena bisnis pertaniannya ditipu oleh temannya sendiri. Ayah meninggalkan banyak hutang dan Ibu tidak siap hidup miskin, dia akhirnya meninggalkan ayah dan memilih menikah dengan laki-laki lain. Aku meminta pada Ibu agar jangan meninggalkanku dan Ayah. Tapi ternyata Ibu lebih memilih melepaskan kami," ujar Arlita dengan suara bergetar.

Abimana merengkuh bahu Arlita, dan mencoba menguatkan. Pasti sangat berat, jalan hidup yang sudah dilalui oleh istrinya dimasalalu.

"Terus apa yang membuat kamu tadi lari dari rumah, saat seorang wanita membukakan pintu?" tanya Abimana.

"Dia itu Ibuku. Aku nggak tau apa yang membuatnya ada disitu. Seharusnya ketika meninggalkan aku dan ayah, dia nggak berani datang kerumah itu lagi. Aku sangat benci sekali dengan wanita itu, meski dia orang yang sudah berjasa melahirkan aku kedunia ini." Arlita kembali menangis setelah menjawab pertanyaan Abimana.

Abimana mengusap bahu Arlita dengan lembut, berusaha men-transfer energi, agar Arlita bisa kuat.

"Terus malam ini, kita mau tidur dimana? Apa akan kembali kerumah yang tadi, ataukah kita akan cari penginapan?"

Arlita menggeleng. "Kita akan menginap dirumah Bik Cicih, tadi dia menyuruhku langsung datang kerumahnya. Tidak jauh dari sini, ayo kita pergi sekarang!"

"Tapi kamu sudah merasa baikan kan?" Abimana terlihat khawatir.

"Aku baik-baik saja."

"Cerita ya, kalau nanti ada sesuatu yang membuat kamu merasa nggak nyaman. Kita ini suami istri, harus saling menguatkan ketika ada masalah."

"Bukannya kita hanya akan mengurus diri kita masing-masing?" ujar Arlita tidak suka dengan Abimana yang mendadak sangat perhatian.

"Bisa jadi, karena satu alasan, perjanjian itu akan berubah. Lalu kita menjadi suami istri yang saling mencintai dan menguatkan."

"Kamu kenapa jadi nggak konsisten gitu? Ya, kita harus sesuai dengan rencana semula. Bertahan hanya untuk satu tahun!" protes Arlita kesal.

Abimana menggedikan bahuya, "Mungkin aku berubah pikiran, dan kamu juga nggak bisa berpaling dari aku."

"Semau kamu aja. Aku lagi malas mikir!" Arlita kembali meneruskan langkahnya menuju tempat yang akan menjadi tujuan menginap malam ini, yaitu rumah Bik Cicih.

Bik Cicih menyambut Arlita dengan raut khawatir dan juga merasa bersalah, karena tidak menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

"Neng Arlita bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulillah saya sehat, Bik. Bibik dan Mang Gofar, sehat?"

"Alhamdulillah Bibi juga sehat. Ayo silakan masuk. Eneng pasti capek. Eh, itu siapa yang bareng sama Eneng, pacarnya bukan? " ujar Bi Cicih kaget karena ternyata Arlita tidak datang sendirian.

Terikat TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang