Terikat Takdir 9

13.9K 1.1K 35
                                    

Abimana menarik tangan Arlita, karena istrinya itu mendadak berhenti melangkah. Padahal rumah masa kecilnya itu, tinggal beberapa langkah lagi. Wajah Arlita mendadak mendung, ada banyak kesedihan yang sangat sulit untuk dijabarkan.

"Jangan sedih, kita hadapi bersama ya, my sun shine," kata Abimana lembut sambil menepuk pundak istrinya, berusaha memberi kekuatan.

"Kita pulang lagi aja ya, Bi. Aku merasa belum siap bertemu dengan Ibuku. Apalagi setelah kejadian tadi pagi," pinta Arlita dengan penuh permohonan.

"Nggak, my sun shine. Kita harus bertemu dengan Ibu sekarang, terlepas dengan apa yang akan dilakukan oleh Ibu nanti pada kita berdua. Karena setelah ini, belum tentu kita memiliki kesempatan untuk bertemu kembali." Abimana berusaha meyakinkan perasaan istrinya yang terlihat resah.

Arlita menatap Abimana dengan sendu, lalu beralih melihat rumah masa kecilnya. Ada kebahagiaan, ketika ayahnya masih ada. Tapi yang banyak ia rasakan adalah kesedihan. Kesedihan yang sudah dibuat oleh Ibunya, yang menciptakan luka yang bernanah.

"Baiklah," ujar Arlita dengan berat hati. Langkahnya terasa berat menuju rumah yang menyimpan banyak kenangan itu. Dan Abimana mengeratkan pegangan tangannya.

Abimana mengucapkan sallam ketika sampai di depan pintu dan mengetuknya. Tidak lama pintu rumah pun terbuka lebar.

"Mau apa kalian kemari?" Ibu Arlita bertanya dengan ketus, tidak ada keramahan sama sekali dari raut wajahnya.

"Beginikah, cara Ibu menyambut kedatangan seorang anak, yang sudah lama tidak berjumpa." Jawab Arlita tidak suka.

"Kalau kamu masih menganggap aku ini Ibumu, nggak mungkin pertama datang nginap dirumah si Cicih." jelas Ibunya tidak suka.

"Ini rumahku, dan aku berhak ada disini. Karena Ayah mewariskan semuanya padaku, bukan pada Ibu. Wanita yang sudah bercerai dengan suaminya, tidak berhak mendapatkan warisan. Dan jangan lupa, Ibu sudah mendapatkan harta gono-gini disaat Ibu bercerai dengan Ayah. Bukankah Ibu sudah menuntutnya disaat perasaan Ayah sedang terluka? Jadi Ibu, sangat salah kalau mengatakan pada orang-orang, belum mendapatkan apa-apa saat cerai dari Ayah."

"Kamu ini ya, mulai perhitungan dengan Ibumu sendiri. Apa salahnya kalau rumah ini di tinggali, ketimbang jadi rumah hantu dan lapuk dimakan rayap!" teriak Ibunya emosi.

"Nggak usah emosi Bu, ini rumahku dan Ibu nggak memiliki hak untuk melarangku masuk kerumah ini." tanpa dipersilahkan masuk, Arlita menerobos kedalam.

"Dasar anak tak tau diri, tak tau sopan santun!" maki Ibunya.

Arlita tersenyum miris. "Mengapa aku dianggap tamu yang tidak punya etika dirumah aku sendiri? Seharusnya yang harus malu itu Ibu, sudah meninggalkan suaminya, ngotot minta cerai, lalu balik lagi kerumah ini. Aku penasaran bagaimana dengan tanggapan tetangga kita yang ceriwis tentang kehadiran Ibu disini. Tapi aku rasa Ibu memang tebal muka, meskipun apa yang sudah Ibu lakukan pada ayah dulu, jadi gosip terpanas di kampung ini. Layaknya gosip yang menimpa selebritis."

"Kamu itu, sekolah tinggi-tinggi, agar bisa melawan Ibumu, kan? Dasar anak tak tahu di untung. Menyesal aku melahirkan kamu, jika sudah besar kamu seperti ini."

Arlita memejamkan matanya, mendadak rasa perih muncul merambat dadanya. Pasti akan selalu berakhir seperti ini jika bertemu Ibunya. Mulutnya mendadak gatal, jika tidak membalas sikap kasar Ibunya. Saat ia akan membuka mulut, Arlita melihat Abimana yang memohon jangan membuat keributan lagi.

"Maaf atas sikap istri saya, Bu. Saya tidak tahu apa yang sudah terjadi antara Ibu dan Arlita dulu, sehingga bisa berjarak seperti ini. Tapi saya berjanji akan menjadikan dia anak yang berbakti pada orang tuanya." tutur Abimana lembut.

Terikat TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang