16. Realita

5.4K 1.2K 848
                                    

Januariz merebahkan dirinya di atas kasur dengan wajah lesu.

Sejak pergi ke acara ulang tahun Juli, hidupnya di JIPS berubah sembilan puluh derajat. Tak jarang ia mendengar gosip di mana-mana yang berisi tentang dirinya. Ya. Tentang dirinya yang ternyata merupakan seorang anak yayasan JIPS. Hal itu tentu saja mengganggu Januariz. Sejak awal, ia memang memilih untuk merahasiakan kenyataan itu. Alasannya cukup jelas bahwa ia tidak ingin dipandang sebagai anak dari pemilik sekolah.

Sayang sekali, rahasia itu terbongkar oleh salah satu antek-antek Red Blood yang sedang mabuk. Owy Rener.

Januariz memejamkan mata, berusaha menenangkan isi pikirannya akan apa yang ia alami beberapa hari ini

"Rahasia apa yang disembunyikan sekolah ini sehingga mereka harus melindungi March?"

Pada akhirnya, kata-kata April tempo hari berhasil menembus isi pikirannya. Gadis itu tidak sekolah selama dua hari tanpa kejelasan yang pasti. Aneh sekali, bukan? Sepertinya terjadi sesuatu dengan gadis itu.

Sebenarnya, Januariz bisa saja mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan April kemarin hanya karena gadis itu curiga kalau Januariz tau sesuatu tentang sekolahnya. Tapi, ketika sadar kalau ini menyangkut Ayahnya—sosok yang tak pernah akur—Januariz tergerak untuk menegurnya sekarang.

Januariz tak pernah bicara dengan Ayahnya lagi. Namun, untuk mendapatkan jawaban Januariz berani menggebrak ruang kerja Ayahnya dan berhadapan dengan pria itu.

Fedelin William. Pria dengan rambut Mohawk, matanya tajam bak elang, alis legam serta kameja berjas formal yang selalu sibuk di ruangannya. Pemilik Jakarta International Prime School yang sedang dibicarakan para murid sebagai orang tua dari Januariz William.

"Ada perlu apa ke ruangan ini?" tanya Fedelin. Tahu betul kalau anaknya datang ke sana pasti karena ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting.

"Sibuk banget yah sama kerjaannya? Berat banget jadi ketua yayasan?"

Fedelin tak melepaskan pandangannya dari laptop, menyeringai mendapatkan pertanyaan seperti itu.

"Ayah baru tahu kalau kamu peduli juga. Kenapa? Apa ini waktu yang tepat untuk bilang kamu tertarik gabung dengan Red Blood?"

"Ngapain gabung ke tim konyol itu? Buang-buang waktu."

"Lalu?"

"Tahu nggak kalau Red Blood itu di sekolah suka ngebully?"

Akhirnya, pandangan Fedelin lepas dari layar laptop beralih ke arah Januariz.

"Kamu ke sini mau bahas itu?"

"Tahu kalau berapa banyak orang yang jadi korban bullying? Yang bisa aja dia trauma seumur hidup, nggak tenang, tapi nggak bisa ngelakuin apa-apa karena disuruh bungkam sama Kepala Sekolah? Guru-guru di sana juga pada buta dan tuli, padahal muridnya menderita. Tahu semua itu nggak? Sekolah yang Ayah bangun itu rusak. Tahu kan?"

Fedelin tersenyum sarkas.

"Kamu tertarik dengan hal-hal itu?"

"Pertanyaannya cuma satu. Kenapa mereka dibiarin gitu aja?" lanjut Januariz, dengan wajah yang tegas.

"Karena apa yang mereka lakukan itu bukan bullying. Mereka hanya anak-anak muda yang mengekspresikan diri mereka sesuai dengan usia mereka, Ariz. Lagian mereka itu atlet berprestasi kok. Kamu harusnya bangga kalau masuk di Red Blood."

Bisa-bisanya ucapan itu keluar dari mulut orang dewasa—yang seharusnya paham mana yang baik dan mana yang buruk. Januariz tak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya yang seperti itu. Waras kah mengatakan mereka yang merundung itu sebagai anak muda yang berekspresi?

Seamless (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang