12. Jangan Takut

5.6K 1.2K 885
                                    

"Jadi lo yang nempelin itu? Berani banget sih lo. Lo nggak takut apa sama March?"

April menghembuskan napas panjang sembari merangkul Tomori berjalan keluar meninggalkan toilet wanita. Selama jam istirahat dimulai, ia memang berniat menghabiskan waktu bersama Tomori demi membahas viralnya kertas-kertas yang ada di JIPS.

Tentu saja pelakunya adalah April. Namun, kebanyakan dari mereka mengira bahwa Januariz lah yang menempelkan kertas tersebut. Kenyataannya, tak ada yang tahu bahwa April berjuang keras hingga hari hampir malam hanya karena mencetak puluhan kertas yang menyinggung bullying dan menempelnya di JIPS.

Pertanyaan terakhir Tomori saat ini berhasil membuat April terpicu. Takut kepada March?

Ada seberkas rasa takut yang ia ujarkan dalam hati mengingat lelaki itu melemparkan ancaman tentang Ibunya. Saat ini, April memang takut akan hal itu. Tapi, lupakan mengenai rasa takut. April yakin bahwa ancaman itu hanyalan bualan asin yang tertiup angin. Kosong. Tak akan membuktikan apa-apa.

"March bukan Tuhan. Kenapa gue harus takut?" balas April dengan penuh keyakinan.

"Eh? March memang bukan Tuhan, tapi dia itu iblis."

"Ck, ada-ada aja sih lo."

Keduanya mengitari koridor sekolah berniat untuk kembali ke kelas masing-masing, jam istirahat nyaris selesai. Baik April maupun Tomori, bercengkrama di waktu singkat ala JIPS sudah membuat pertemuan mereka terasa puas.

"April!"

Terdengar suara lelaki memanggilnya dari kejauhan. April dan Tomori lantas menoleh, melihat August berjalan gontai ke arahnya dengan wajah yang memerah padam. Lelaki itu dibanjiri keringat serta melemparkan keduanya tatapan intens.

Dengan sapaan hangat, April merespons. "Hai August, ada apa?"

Lelaki itu terlihat kesulitan untuk bersuara, rasa tidak tega dan kecewa bercampur menjadi satu. Entah harus percaya pada March atau tidak, tapi ia sudah lelah dengan drama yang diperankan oleh Red Blood atau April. Ia hanya ingin meluapkan kekesalannya. Lantas, dengan berat hati, August berteriak.

"Lo—lo itu cewek munafik!"

Beberapa siswa-siswi yang ada di sekitaran koridor mulai melemparkan tatapan penasaran kepada mereka. Teriakan August menjadikan suatu hal yang tidak disangka-sangka, baru kali itu mereka mendengar suara August. Parahnya lagi, suara itu keluar hanya untuk membentak seorang April.

Ya. April. Si anak Einstein yang sangat dihormati di JIPS.

"Lo nggak usah sok baik dengan nempelin kertas-kertas di JIPS. Lo nggak usah pura-pura baik dengan berkata mau nolongin gue! Gue tahu kalau lo itu sama kayak mereka semua—munafik!"

"Heh, August. Lo ngomong apa sih?" Gantian Tomori yang mendelik kesal ke August.

Memang mengejutkan. Pasalnya, tak ada badai menerjang yang mengharuskan August memarahi April di depan umum seperti ini. Lantas, apa yang dilakukan August sekarang? Tidak masuk akal.

Sedangkan April hanya bergeming. Ucapan August benar-benar menohok hingga ia dibuat tidak mengerti.

Bukannya menjawab, August malah semakin membentak April. "Berhenti ikut campur urusan gue lagi! Berhenti sok baik ke gue. Gue udah tahu semuanya!"

August kembali berlari meninggalkan kebingungan dari setiap wajah yang ada di koridor sekolah. Lelaki bertubuh mungil itu memalingkan wajahnya yang meringis berhiaskan air mata. Matanya menatap nanar pada setiap arah yang ia pandangi, serta punggungnya memancarkan sekeping rasa kesepian dan letih.

🐾🐾🐾

April tidak bersalah tapi tatapan intimidasi dari setiap orang seakan-akan menuduhnya karena telah melakukan sesuatu pada August. Diteriaki sebagai gadis munafik, siapa yang tidak tersinggung? Jelas April tersinggung, tapi tak bisa membantah August.

Hanya saja, satu-satunya hal yang April lihat setelah amarah August adalah wajah March di kejauhan sedang menyeringai ke arahnya seakan memberitahu April bahwa itu adalah balasan jika terus menerus ikut campur dengan tindakan mereka.

April tahu, March tidak akan tinggal diam. Penyebab tersebarnya kertas ancaman di sekolah juga pasti sudah diketahui lelaki itu. Berada di sekolah yang penuh dengan petinggi-petinggi licik memang sulit, tapi bersikap sedikit lebih licik seperti mereka sepertinya tidak. Bukan berarti April sama liciknya dengan mereka, hanya saja ini adalah jalan untuk membebaskan bullying dari JIPS. Meski beasiswa yang jadi taruhannya.

"Karya kamu yang ini akan jadi karya pertama kelas seni yang ada di ruang galeri. Gambar sederhana, tapi maknanya jelas dan bagus," sahut Bu Anin, memperlihatkan jiplakan telapak tangan yang sempat April presentasikan di kelas seni seminggu lalu.

"Wah, terima kasih banyak, bu." April tersenyum tipis membuat Bu Anin mengernyit.

"Kenapa? Kamu ada masalah yah?"

"Nggak kok."

"Dari awal ibu perhatiin, muka kamu murung terus. Ada yang gangguin kamu di sekolah ini?"

April mengernyit. Memang sejak teriakan August tadi, April sedikit murung dan sibuk dalam diamnya. Mempertanyakan perihal kemunafikan dari apa yang ia lakukan atau apa yang dibicarakan March sehingga membuat August terpaksa melakukan hal itu padanya.

"Ibu lagi ngomongin Red Blood?"

Bu Anin terkekeh, "Kalau emang mereka gangguin kamu, kamu bisa kok melakukan apa yang harus kamu lakukan."

April tertegun sesaat.

"Ibu nggak mihak mereka?"

Semula bersitatap, Bu Anin mengulas senyuman kecil yang diartikan April sebagai senyuman bijak.

"Kalau Ibu boleh tahu, kamu mau jadi penulis yah? Makna lain dari telapak tangan ini, apa itu berarti kamu mau menyampaikan apa yang kamu pikir lewat tulisan dan membantu banyak orang?"

April mengangguk kecil. Ragu, tapi membenarkan.

"Tulisan yang dibicarain banyak orang sekarang, Ibu tahu itu dari kamu. April, ada di lingkungan seperti ini memang sulit. Diam bukan berarti memihak. Ada hal-hal yang nggak bisa Ibu jelaskan dan bisa kamu pahami di lingkungan seperti ini. Tapi, selagi kamu mau melakukan hal-hal terbaik untuk melawan, Ibu hanya bisa bilang ... lakukan."

"Nggak bisa April pahami, Bu?"

"Sekeras apa pun, kamu nggak akan bisa paham karena kamu nggak diposisi Ibu. Ah, masalah orang dewasa bukan kapasitas kalian. Maaf, Pril kalau Ibu nggak bisa jelasinnya. Suatu saat kamu akan ngerti kenapa banyak guru memilih diam saat kejadian buruk menimpa kalian."

April mengernyit mendengarnya. Semakin banyak kalimat yang dilontarkan, semakin besar pertanyaan yang ingin ditanyakan. Namun, bagaimana bisa ia bertanya? Kala Bu Anin berniat menyudahi pertemuan mereka dengan meminta paraf April di gambar itu—bersiap memasukannya ke bingkai untuk di pajang dalam galeri JIPS.

"Tapi, Bu—"

Dering telepon berbunyi, membuat perkataan April tertahan dan Bu Anin menyudahi dengan wajah serius. Mengangkat telepon setelah mendengar suara dari sebrang.

"Ya, April di ruangan saya. Ada apa, yah?"

April yang mendengar namanya disebut mengernyit.

"Baik."

Menaruh kembali gagang telepon, Bu Anin mengerjap iba ke arah April.

"Ibu kamu masuk rumah sakit, Pril."

Seamless (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang