"Juli!"
Panggilan itu membuat Juli membalikkan tubuhnya ke belakang, mendapati seorang gadis dengan pakaian sekolah sedang berdiri kaku di depannya dengan wajah pucat pasi.
"Lo puas jebak gue di sana?"
Kedua mata Juli terlihat bergetar, terkejut. Helaan napasnya mulai terdengar berat dengan tubuh yang melemah. Ingin melarikan diri tetapi tak bisa karena gadis di depannya telah menghalangi jalan dan yang bisa dilakukan Juli hanyalah terpaku di tempat. Bibirnya terasa kaku dengan rahang yang mengeras.
"Pembunuh!"
Kata-kata itu masuk begitu saja di kepala Juli hingga membuatnya tak tahan, Juli terisak sambil memegang kepalanya yang sakit. Berkali-kali menggelengkan kepala seakan menolak kalimat yang ditujukkan kepadanya.
"Lo bakal nyesal setelah ini. Gue bakal bikin lo merasa bersalah seumur hidup dan setiap lo bernapas, lo akan tahu kalau napas lo itu nggak pernah berarti di dunia ini ..."
"Aku bukan pembunuh!" seru Juli sambil terus memegang kepalanya dan meringis kesakitan. "Nggak. Bukan aku. Aku bukan pembunuh!"
"Juli, hey?" Juni berusaha menggerakkan tubuh adiknya susah payah dengan wajah khawatir. Tetapi Juli masih terus mengigau sembari menggeleng-gelengkan kepalanya sekuat tenaga. "Hey, hey! Juli kamu kenapa?"
Dalam sekali hentakkan, mata gadis itu terbuka bersamaan dengan peluh yang mengalir dari pelipisnya. Gadis itu terengah-engah dan segera saja Juni menyambutnya dengan segelas air yang langsung diteguk olehnya. Juni tak bisa menebak dengan pasti apa yang terjadi dengan gadis itu akhir-akhir ini, hanya saja ia selalu melihat Juli sebagai orang yang berbeda.
"Aw!" Juli memegang bagian kepalanya yang berdenyut usai meneguk air. Mimpi yang tadi benar-benar terasa sangat nyata baginya. Pelan-pelan kepalanya bergerak ke arah Juni yang masih setia di sana dengan wajah kebingungan.
Juni mengamati raut wajah Juli dengan seksama berharap agar adiknya akan menjelaskan sesuatu. Tetapi nihil, ia masih berdiam diri tanpa berniat mengeluarkan suara.
"Well, aku akan nulis sakit di absen kamu hari ini, kamu nggak perlu ke sekolah. Istirahat yang cukup hari ini, okay ?"
Juli enggan menjawab pertanyaan itu, hanya memalingkan wajah ke tempat lain dengan tampang bersalah. Perlakuan Juli lantas mengingatkannya akan perkataan Owy kemarin yang sempat bertanya tentang Juli yang mengunjungi dokter psikolog karena sepertinya Juli punya masalah pribadi.
"Kamu mimpi buruk, yah?"
Juli mengangguk sejenak kemudian tersenyum kecut. "Mimpi konyol, nggak usah khawatir."
"Mimpi tentang hantu yang sering kamu lihat?"
"Nggak—maksud aku iya," jawabnya. Ia bergerak gelisah menghindari tatapan Juni yang begitu intens. "Aku baik-baik aja, Juni. Udahlah, nggak perlu khawatir."
Terdengar begitu meyakinkan, Juni pun menganggukan kepala bersamaan dengan helaan napas lega. Kemudian ia merogoh sesuatu dari dalam tas selempangnya, menyerahkan kotak kecil yang sudah dihias pita berwarna merah ke arah Juli. "Aku punya sesuatu buat kamu."
Juli meraih kotak itu, mengernyit, ragu untuk membukanya. Melihat Juni yang menganggukan kepala membuat Juli meyakinkan dirinya sendiri untuk membuka bingkisan itu sekarang.
Juli tertegun setelah melihat benda yang berkilauan di balik bingkisan itu. Sebuah permata berwarna biru samudra langsung menyambutnya, mengilaukan manik mata yang sempat berkedip sekali selama semenit. Juli mengangkat permata tersebut, merasakan berat gram dari benda sekecil kerikil dengan takjub kemudian atensinya berpaling pada sebuah gambar kapal pesiar yang ada di baliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seamless (TERBIT)
Mystery / Thriller*** PEMENANG WATTYS 2021 *** (SUDAH TERBIT DI PENERBIT OLYMPUS) CONTENT WARNING!!! Selamat Datang di JIPS; sekolah terbaik yang menjadi idaman setiap orang. Di sini kamu akan bertemu dengan si cerdas April, si jutek Januariz, si atlet baseball March...