26. Ada Apa Dengan Juli?

4.9K 1K 788
                                    

Juli membuka kedua mata setelah sempat tak sadarkan diri di UKS selama sejam lebih. Juni menemaninya, melewatkan jam pelajaran yang terisi dengan pelajaran Matematika demi menunggu adiknya siuman. Sebelumnya, petugas medis yang berjaga di sana telah memeriksa Juli dan berkata bahwa Juli tak menerima penyerangan fisik dari seseorang, tak seperti yang dipikirkan oleh Juni. Meski meragu, ia sempat mencurigai kehadiran April yang semula hanya berdiam diri bagai patung pajangan di sana.

Juni bernapas lega ketika melihat adiknya sudah siuman, lantas ia bergerak duduk di samping Juli, menyodorkan selang minum ke arahnya yang langsung disambut dengan cepat. Tangan gadis itu masih terlihat gemetar, wajahnya pun pucat pasi. Juni masih tak tahu apa penyebabnya. Berharap tak ada sesuatu buruk yang telah menimpa adik tersayangnya itu.

"Hey, manager tadi telepon aku. Katanya, kita harus ikut interview di Senayan malam ini. Aku udah bilang kalau kamu sakit, tapi dia minta aku untuk pergi sendirian karena interview-nya nggak bisa ditunda—"

"Ya, kamu pergi aja."

"Nggak bisa gitu dong. Aku nggak mau di interview sendirian."

"Kalau manager mintanya kamu doang, ya udah. Kamu pergi aja. Nanti aku bakal istirahat kok di rumah."

Juni hanya bergeming setelahnya, memperhatikan raut wajah Juli yang berubah ketus. Gadis itu nampak berbeda akhir-akhir ini membuat kekhawatiran dalam hati Juni bertambah 2x lipat.

"Kamu nggak apa-apa, 'kan?"

"Aku nggak apa-apa."

"Aku tadi lihat April di sana." Juli menatap kakaknya dengan cepat usai mendengar kalimat itu dilontarkan. "Apa yang kamu lakukan dengan April di toilet?"

"Ugh itu, nggak ada, kok. April hanya ngagetin aku aja," jawab Juli, kali ini tanpa menatap Juni lagi. Ia berusaha untuk terkekeh pelan, "Ya. Akhir-akhir ini aku sering lihat hantu, jadi pas April ada di belakang, aku—aku ngira dia hantu yang sering aku lihat itu."

"Hantu?"

Juli mengangguk, berusaha keras meyakinkan Juni yang masih terlihat kebingungan akan penjelasannya. "Tapi itu udah nggak ada, Juni. Kayaknya hantu itu udah nggak pernah ganggu aku lagi. Jangan khawatir."

Setelah jeda beberapa detik, Juni mengembuskan napas lega. "Padahal aku udah nuduh April tahu, nggak? Aku harus minta maaf ke April."

Juli terlihat enggan menyetujuinya, tapi tak ada sedikit bantahan yang dikeluarkan dari mulutnya. Sedetik kemudian, ponsel Juni dering yang menandakan panggilan masuk dari manager mereka. Gadis itu terlihat menimang-nimang sebentar, entah untuk menolak panggilan interview atau mengiyakannya hingga tatapan Juli meyakinkannya untuk menyetujui interview tersebut. Lagi pula, Juli sudah berkata akan istirahat. Tak ada salahnya untuk menerima panggilan interview yang sudah ia nantikan selama ini. Gadis itu melangkah keluar UKS, menerima panggilan telepon di tempat lain.

Tak berapa lama setelahnya, seorang petugas medis datang menyibakkan gorden, menghampiri Juli yang mematung di tempatnya dengan wajah linglung. 

"Sudah siuman?" Juli mengangguk ke arahnya. "Perbanyaklah istirahat, Juliana. Jangan sungkan untuk memberitahu keadaanmu pada siapapun. Terkadang memendam apa yang selama ini kamu simpan bisa berakibat fatal untuk diri kamu sendiri."

Mendengar itu, Juli tertegun. Tentu saja petugas medis ini tahu. Untuk seseorang yang ahli dalam hal kesehatan, tak sulit menebak tentang Juli setelah apa yang terjadi padanya di hari ini. Juli memilih untuk mengangguk kecil dan tersenyum tipis. "Makasih, bu."

"Kamu bawa obat kamu, 'kan?"

Juli meraba kantung rok-nya dan tak menemukan apapun di sana selain ponsel. Gadis itu mulai terlihat agak panik, di setiap kantung seragam yang ia sentuh, ia tak menemukan botol obatnya. Juli menatap petugas medis tersebut sambil menelan saliva.

Seamless (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang