23. Larangan

5.1K 1.1K 1K
                                    

Januariz terpaku pada bingkai foto tua yang tergantung di kamarnya.

Sudah bertahun-tahun ia menyimpan foto itu. Foto yang menampilkan seorang gadis yang berusia enam tahun dan lelaki bertopi biru yang berusia sekitar tiga tahun—foto yang diyakini sebagai saudara tirinya.

Januariz punya saudara tiri. Setidaknya itu yang ia dengar dari Tania, bundanya. Anak dari hasil pernikahan pertama yang sempat ditelantarkan oleh ayahnya itu ternyata adalah Febrian dan Lini. Meskipun Lini berkata tidak mengenalnya, tetap saja Januariz yakin bahwa wanita yang ada di gubuk itu adalah saudara tirinya.

Januariz ingat dengan jelas bagaimana cara Lini selalu memandanginya; pandangan dengan wajah yang terkejut seakan mengenal siapa Januariz dan cara wanita itu selalu menghindarinya begitu jelas. Menit berikutnya, Januariz keluar dari kamar. Menghampiri kedua orang tuanya yang terlihat sedang menyantap hidangan di meja makan.

Mendapati anaknya yang tiba-tiba saja menghampiri mereka, Tania tersenyum senang. Kalau dipikir-pikir, putra semata wayangnya itu tak pernah ikut makan bersama mereka. Alasannya sudah jelas bahwa Januariz tak ingin bertemu dengan ayahnya di sana.

"Ariz, ayo duduk," ujar Tania dengan riang.

"Aku udah menemukan anak-anak yang terlantar itu."

Kalimat yang ditegasi dengan wajah serius tak membuat Fedelin—ayahnya bereaksi apa pun. Berbeda dengan Tania yang saat ini sudah mengernyit kebingungan.

"Anak-anak yang terlantar?"

"Aku udah tahu nama mereka. Febrian dan Lini. Aku benar 'kan, yah?" tanya Januariz. Fedelin masih tetap fokus pada makanannya, tak menghiraukan seruan dari Januariz. "Jadi ayah pura-pura nggak tahu mereka di mana sekarang? Dan apa ayah tahu kalau mereka juga sering mendapat perundungan dari March Simpkins?"

Masih tak ada jawaban dari Fedelin sedangkan Tania hanya bisa bungkam dengan wajah canggung. Lagi dan lagi selalu terjadi, pertengkaran ayah dan anak di rumahnya yang tak pernah akur barang sehari saja.

"Ayah nggak tahu 'kan? Ayah macam apa yang tega nelantarin anaknya sendiri dan malah sering mengagung-agungkan anak orang lain yang gemar melakukan penindasan?" Januariz berdecih.

Prang!

Seakan kesabarannya habis, Fedelin menghentakkan sendok dan garpunya begitu saja di atas piring hingga menimbulkan dentuman nyaring yang memenuhi meja makan. Tania tersentak—juga beberapa asisten rumah tangga yang sempat menguping pembicaraan mereka.

"Tutup mulut kamu, Ariz! Kamu terlalu kurang ajar sama orang tua!" Fedelin balas membentak putranya begitu saja hingga membuat Tania kelimpungan menghadapi situasi dingin yang terjadi. 

"Jadi, aku benar?" Lelaki itu tersenyum sinis, "Mengurusi anak sendiri aja, ayah nggak bisa. Apalagi mengurusi siswa JIPS yang jumlahnya ribuan? Pantesan sekolah yang ayah bangun itu rusak!"

"Cukup! Keluar kamu sekarang!"

Dibentak seperti itu membuat Januariz berdecih. Ia melirik Tania dan Fedelin secara bergantian, kemudian membalikkan tubuh ke belakang. Berniat untuk pergi ke rumahnya dengan segumpal kekesalan yang meluap dalam hati.

🐾🐾🐾

Makan malam berdua dengan Sang Ibu sudah menjadi kebiasaan April sejak ia duduk di bangku SMA. Hanya dengan lauk yang sederhana, tetapi menjadi waktu dan moment yang selalu April tunggu di setiap ia memulai harinya. April cukup ingat sewaktu Sang Bapak masih ada, makan bertiga selalu menjadi waktu istimewa yang ia punya dengan membicarakan beberapa lomba yang pernah ia ikuti atau sekedar mendengarkan nasehat tentang kehidupan.

Seamless (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang