Kurapikan jas hitam dan dasi yang melingkar di leherku. Kupandang diriku di kaca besar yang terletak diruangan tempatku berada saat ini.
Setelah kupikir semua siap, kulangkahkan kakiku menuju sebuah ruangan berpintu putih dengan hiasan bunga-bunga.
Disana didepan sebuah kaca, gadisku tengah berdiri dengan gaun putih panjangnya. Tak dapat lagi kutahan senyum dibibirku.
Kutarik senyum simpul kala gadis itu menatapku, ada rasa yang bergejolak di dadaku. Ini sangat sesak, aku tak dapat mengungkapkan perasaanku saat ini.
Manik coklatnya menatapku lama, membuatku semakin ingin tersenyum lebar. Namun ku coba untuk menahan diriku sendiri, perlahan ku berjalan mendekati gadis itu yang kini sudah menundukkan kepalanya.
Kuingat sekali saat pertama kali kita bertemu, ia satu-satunya orang yang dapat kukenali sampai saat ini diantara semua orang yang sudah kutemui.
Prosopagnosia developmental yaitu prosopagnosia keturunan dengan tingkat ketidakmampuan pengenalan wajah. Aku masih mampu membedakan wajah namun tidak mampu mengingatnya untuk waktu yang lama.
Aku mendapatkan hal ini dari mendiang ibuku. Bahkan untuk keluargaku sendiri aku harus selalu melihat foto mereka dengan nama yang tercetak dibawahnya.
Sangat sulit bagiku untuk berinteraksi, namun gadis dengan manik coklat itu mengubah hidupku. Aku dapat mempercayainya karena ia berbeda.
Bunga-bunga putih di genggaman tangannya begitu serasi dengan gaun yang ia kenakan, kuraih tangan putihnya dan kuberi usapan pelan.
Ia mulai mengangkat kepalanya menatapku lama dan mulai memberikan senyuman.
"Kau sangat cantik." Ku berbisik pelan. Ia mengalihkan pandangan dariku, aku yakin ia tengah menyembunyikan pipi merahnya saat ini.
"Kau juga sangat tampan Jim" ia berujar begitu lirih, namun telingaku masih cukup tajam untuk mendengarnya.
Kutatap cermin besar dihadapan kami, bayangan yang tercipta di sana begitu sempurna. Gadisku begitu cantik, aku tak ingin apapun hari ini selain terus memandanginya.
"Kita pergi sekarang?" Tanyaku seraya membenarkan letak mahkota kecil dirambutnya. Helaan nafas panjang gadis itu lepaskan, memandangku sejenak lalu mengangguk mantap.
Ku genggam erat tangannya, gadisku nampak sesekali mencuri pandang dariku ketika kaki kami melangkah beriringan.
Sejenak kulupakan semua luka dan beban berat yang menumpang di bahuku, aku ingin menjadi pria sempurna untuknya hari ini.
Aku ingin menjadi orang yang paling bahagia hari ini, senyuman yang selalu kutunjukkan hari ini tak akan pernah berubah untuknya.
Sejenak kami hentikan langkah dan menatap orang-orang yang tengah menanti kehadiran kami.
Kueratkan genggamanku pada tangan kecilnya, kala berbagai wajah buram memenuhi indra pengelihatanku.
Ia nampak mengerti kekhawatiranku, ia menatapku beberapa saat. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Suara yang begitu halus, membuatku lebih tenang.
Kelopak-kelopak bunga berwarna putih, memenuhi karpet merah yang kami lalui. Gaun putihnya menyapu kelopak-kelopak itu, beberapa kelopak bahkan nampak tersangkut di gaun panjangnya.
Kami masih saling bertukar senyuman, entah hanya perasaanku atau memang faktanya demikian. Semakin sering ia tersenyum ia nampak semakin cantik dimataku.
Tangan kami masih saling menggenggam, semakin banyak langkah yang kuambil semakin banyak memoriku dengannya yang terputar kembali.
Ia orang pertama yang kupanggil namanya, kala aku sulit untuk membedakan wajah seseorang.
Paras cantiknya menjadi hal yang paling lama kuingat dan mungkin tak akan bisa hilang dengan mudah.
Kuingat sekali saat kutawarkan kopi padanya, dan dengan mudahya ia mengatakan aku benci kopi. Dan seperti kehilangan akal, sejak saat itu aku tak lagi meminum kopi.
Saat ia memakan permen-permen manis itu, ia tawarkan beberapa padaku. Kuterima dengan senang hati, entah sejak kapan aku jadi menyukai rasa manis.
Aku yang selalu bersembunyi dari dunia luar, maka ialah yang mampu membawaku melangkah jauh hingga sampai disini.
Kini aku dapat mengangkat kepalaku dan kuingin selalu melihat senyuman manis itu.
"Jim." Kutolehkan kepalaku menatap manik coklatnya. Kutarik senyum di bibirku.
"Kita hampir sampai." Bisikku sembari tersenyum, ia menatapku dan mulai tersenyum kembali.
Kembali kufokuskan pikiranku pada karpet merah yang sudah hampir sampai pada ujungnya. Kelopak bunga putih juga mulai habis dihadapanku.
Kutarik napas panjang dan kueratkan genggamanku di tangan kecilnya. Kumantapkan hatiku dan menjadikan ini sebagai hal yang terbaik.
Sampai langkah kami terhenti di depan sebuah anak tangga, kutatap gadisku dengan senyuman. Ia menatapku dengan mata yang nampak berbinar, aku tau ia bahagia.
Kulepaskan genggamanku pada tangannya, dengan bibir yang terus menyunggingkan senyuman.
Sebuah tangan kekar meraih tangannya, dan menggantikan genggaman tanganku. Pria yang berhasil mendapatkan gadisku dan akan menjadikan gadisku sebagai miliknya.
"Terimakasih." Pria itu berucap dengan tersenyum, dan tentusaja aku hanya bisa menganggukkan kepala.
Kini tangan itu berpindah tempat, selesai sudah tugasku menjaganya dan kini ia telah mendapatkan pria yang akan melindunginya.
Gadisku, mungkin kini tak sepantasnya lagi kupanggil dirinya dengan sebutan itu.
Janji-janji yang semakin jelas mereka berdua ucapkan membuat perlahan pandanganku buram, semua menjadi semu dan aku kembali pada keterbelakanganku.
Sebisa mungkin ku pertahankan senyumanku, kala wajah gadisku tak lagi dapat kukenali.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.