Tatapan mataku tak dapat teralihkan dari seorang remaja yang tengah duduk di balkon kamarnya dengan jemari yang sibuk memetik senar gitar kayunya. Aku ingat betul jika gitar itu adalah hadiah dari sahabatnya. Hadiah yang ia dapat di ulang tahun ke 15 tahunnya, dan ia nampak sangat menyayangi gitar itu.
Aku sudah siap pergi ke kantor, jadi kuluangkan sejenak waktuku untuk menghampirinya. Kuusap pelan punggung Jimin, remaja dengan gitar yang tak lain adalah adikku. Ia menoleh dan menarik senyum kearahku, sejenak jemarinya berhenti memetik gitar itu.
Baru saja bibirku akan melontarkan pertanyaan, terlebih dulu Jimin menengok keluar balkon kamarnya dan mulai meletakkan gitar kayu itu di samping jendela.
"Hyung, aku berangkat dulu. Tae-tae sudah datang." Ia beranjak begitu saja, meninggalkan kamar seraya menyaret tas sekolahnya. Jimin bahkan tak memperdulikan diriku yang ada disini.
Kuulurkan tanganku untuk mengambil gitar itu dan menyimpanya di tempat yang lebih rapi, ingin sekali aku membuang gitar itu tetapi aku tak dapat melakukan apapun karena Jimin sangat menyukainya.
"Yoongi-ah, ayo sarapan." Suara seorang wanita membuat fokusku teralihkan, eomma berdiri di ambang pintu kamar Jimin lengkap dengan apron merahnya.
"Aku akan segera ke bawah." eomma nampaknya tak mempersalahkan hal itu, ia segera beranjak dari sana meninggalkanku.
Hidangan hangat tersaji di hadapanku, appa juga telah duduk seraya meneguk air di gelas yang baru saja diletakkan eomma.
Kursi di sampingku yang seharusnya di isi oleh Jimin nampak kosong, bocah itu tak memakan sarapannya karena terburu-buru berangakat bersama sahabatnya.
"Eomma, tentang Jimin. Tidakkah sebaiknya kita pergi menemui psikiater, aku khawatir jika ia terus seperti ini." eomma yang tadinya akan mengambil sup berhenti mendengar ucapanku, begitu juga appa ia mengurungkan niatnya untuk menyuapkan telur gulung yang berada di sumpitnya.
"Eum..... bisakah kau menemui Seokjin, dan konsultasi masalah Jimin padanya, kau tau sendiri adikmu sangat sulit untuk dibujuk. Alangkah baiknya jika kau yang menjelaskan maslah itu ke Seokjin dan mencari solusinya." Jawaban appa cukup masuk akal, Seokjin hyung adalah psikiater yang dapat diandalkan dalam hal ini.
Ia sudah dekat dengan keluargaku begitu juga dengan Jimin, mungkin aku harus menemuinya sepulang dari kantor.
"Baiklah, aku akan menemui Seokjin hyung sepulang kerja. Tapi tidakkah kita harus membuat janji terlebih dulu?"
"Tak perlu khawatir, appa sudah membuat janji dengan Seokjin kemarin."
***
Mungkin memang benar kata orang, jangan terlalu suka meninggalkan pekerjaan. Baru saja beberapa kolega datang kekantor, tetapi entah dari mana tiba-tiba Jimin datang keruanganku dengan masih lengkap berseragam sekolah menengah atasnya.
Remaja 17 tahun itu sibuk berkeliling ruanganku sembari mengoceh untuk mengajakku mengunjungi kedai sup yang baru saja buka beberapa bulan lalu. Jimin sebenarnya sudah sering menintaku untuk menemaninya pergi, tetapi banyaknya pekerjaan membuatku tak dapat menuruti kemauannya.
Hingga finalnya hari ini, Jimin memesan semangkuk sup dan aku yang menemaninya hingga selesai makan.
Bukan aku tak ingin mencicipi sup itu, tapi entah mengapa aku sudah merasa kenyang saat melihat bocah itu menyantap supnya.
Sekitar 30 menit berlalu akhirnya Jimin mulai bosan dan ingin pergi ke game center.
"Hyung, aku akan pergi ke warnet bersama Tae. Tak perlu menjemputku, aku akan pulang dengannya nanti."
Bahkan tanpa menunggu pendapatku, Jimin sudah melesat pergi. Sungguh aku mulai khawatir dengan hal ini.
Hari semakin sore dan kupilih untuk pergi ke rumah sakit. Kubawa beberapa buah untuk diberikan pada Seokjin hyung, beberapa saat lalu ia meminta padaku untuk membawa apel dan juga jeruk ke ruang kerjanya.
Pintu bercat putih dengan gagang besi menyambutku. Kugerser pintu itu dan mulai melangkah masuk, sebenarnya ruang praktek Seokjin hyung terasa berbeda dengan ruang dokter lain.
Ketika ruangan lain beraroma etanol pekat maka ruangan Seokjin hyung terasa lebih ringan dengan seduhan teh herbal.
"Hyung."
"Oh.... kemari Yoongi-ah, aku sudah sangat ingin memakan jeruk sejak kemarin." Tanpa menunggu ku sodorkan kantung plastik itu, Seokjin hyung terlebih dulu menyahutnya.
Ia nampak sibuk dengan kegiatan mengupas jeruknya tanpa peduli denganku.
"Hyung, aku datang untuk membicarakan masalah Jimin."
"Kalau begitu cerita saja masalahnya padaku, apakah kau mau ku kupaskan beberapa?" Hanya ku gelengkan kepala, bagaimana bisa ia nampak tenang dan tak mengatakan apapun padaku.
Kutarik napas sebentar dan mulai menceritakan masalah Jimin.
"2 minggu yang lalu keanehan mulai terjadi pada Jimin. Ia selalu membahas Taehyung dan mengatakan jika ia pergi ke sekolah bersama temannya itu."
"Jadi menurutmu itu aneh?" Seokjin hyung menatapku dan mulai meletakkan jeruk yang tinggal beberapa biji.
"Ya... kerena bus yang dinaiki mereka saat pulang sekolah mengalami kecelakaan dan semua orang tewas dalam kejadian itu, begitu juga dengan Taehyung." Jelasku seraya menatap cangkir teh yang baru saja di sodorkan kearahku.
"Jadi semua orang tewas?"
"Ya.... dan mungkin karena Jimin pulang bersama Taehyung saat itu, ia tak dapat menerima kematian sahabatnya." Ku lebih perjelas semua kejadiannya, agar Seokjin hyung dapat memberi solusi atas masalah Jimin.
"Seharusnya aku menjemputnya hari itu, tetapi beberapa kolega datang sehingga Jimin harus pulang menggunakan bus."
"Yoongi-ah, tak ada yang dapat ku lakukan. Itu semua tergantung pada dirimu, Jimin maupun Taehyung mereka hanya melakukan hal yang kau inginkan. Kau hanya ingin Jimin terus melakukan rutinitas seperti biasa, jadi kau harus lebih mengerti pada adikmu dan biarkan ia melakukan apa yang ia mau."
Otakku di buat berpikir lebih dengan perkataan Seokjin hyung, jadi apakah aku harus membiarkan Jimin tetap bersama Taehyung? Tapi aku ingin Jimin tetap bersamaku.
"Trimakasih hyung, tapi aku harus pergi sekarang."
"Pergilah dan kau juga harus mengatakan hal yang sama pada Jimin." Seokjin hyung menarik senyum dan melempar sebuah apel ke arah ku.
Tak ada kata yang dapat keluar dari mulutku, kuputuskan untuk segera beranjak dari sana.
Rumah terasa sepi Eomma dan appa hanya duduk diam di sofa setelah menyambut kedatanganku. Jadi tanpa pikir panjang, kulangkahkan kakiku ke lantai atas guna menemui Jimin.
Kamarnya nampak rapi dengan Jimin yang tengah duduk di pinggir ranjang sembari memetik senar gitarnya teratur. Membuat bunyi nyaring yang sungguh indah.
"Jimin-ah."
Langkah beratku mendekatinya, ia menarik senyum dan menatapku hangat. Tak ada yang dapat keluar dari mututku selain kata untuk menyuruhnya tidur.
"Ini sudah malam sebaiknya kau istirahat."
"Tapi hyung, aku ingin pergi bersama Tae." Alasan yang sama, kubaringkan tubuhku di atas ranjang dan memintanya sekali lagi untuk segera berbaring.
"Tidur bersamaku malam ini, setelahnya kau bisa pergi saat aku sudah terlelap." Jimin tersenyum senang dan segera membaringkan tubunya di dekatku.
Entah aku harus senang atau tidak saat ia setuju untuk menemani tidurku. Tetapi kian lama, tak lagi kurasakan keberadaan Jimin di dekatku. Apakah ini salah saat ku ijinkan ia pergi.
The end

KAMU SEDANG MEMBACA
Mine
Historia CortaAku tak tau bagaimana cara mengataknnya, namun aku tetap berusaha untuk merubahnya. Akankah itu semua akan bisa? Kumpulan cerpen........