Langkah tergesa ku ambil tak peduli lagi dengan beberapa orang yang tertabrak oleh tubuhku. Pikiranku kacau hanya ada satu orang yang harus kutemui segera.
Pintu terbuka lebar, dengan napas memburu kusapu isi ruangan, sungguh ia yang kucemaskan nampak bahagia mengunyah anggur hijau dalam mangkuk.
Ok, akan kuabaikan hal itu, kudekati pemuda yang notabenenya adalah adikku. Hanya tinggal beberapa langkah lagi aku mencapainya, menyebalkan memang ia malah menyodorkan mangkuk anggur itu kearahku.
"Hyung mau? Ini sangat manis." Kuhela napas panjang sebelum duduk dikursi samping brankar.
"Sudah kukatakan tak usah pergi, mengapa kau tetap saja pergi?"
"Jadi hyung tak mau anggurnya? Ya sudah akan kuhabiskan kalau begitu." Butuh kesabaran ekstra memang bicara dengan manusia jenis ini.
"Jimin-ah, hyung serius." Kuhela napas sebelum kembali menatap pemuda 18 tahun itu.
"Yoongi hyung, aku juga serius."
Baru saja akan kubalas ucapan menyebalkan itu, pintu rawat yang terlebih dulu terbuka menghentikan niatku.
Dokter Han orang dengan sejuta kesabaran diberkati menagani pasien seperti Jimin sejak 18 tahun lalu, ya.... 18 tahun Jimin selalu seperti ini sejak ia lahir.
"Apakah masih sakit?" Pria 48 tahun itu menyibak pakaian Jimin dan mulai menempelkan stetoskopnya.
Aku hanya diam melihat interaksi itu, yang terpenting adikku baik-baik saja saat ini.
"Bagaimana paman?" Dokter Han menatapku dan memberi sinyal untuk keluar dari ruang rawat. Sejenak kutatap Jimin dan mengambil anggur dari mangkuknya.
"Hyung akan bicara dengan paman dokter, jangan macam-macam."
Kututup pintu dan segera mendatangi pria dengan jas putih itu.
"Apakah semua baik paman?"
"Yoon, kau tau obat yang selalu diberikan untuk mengontrol aritma juga menimbulkan efek samping bagi jantung Jimin."
Oh.....apa lagi ini, ku usap wajah kasar dan berbalik menatap pintu. Aku sungguh tak menyangka ini akan terjadi pada Jimin.
Kubungkukkan badan singkat kearah pria di sampingku dan segera melangkah masuk kedalam ruang rawat.
Posisi Jimin masih sama dan dengan kegiatan yang sama pula. Anggur itu masih menjadi fokusnya hingga saat ini, tak memperdulikanku barang sejenak yang ada disampingnya.
Karena terlampau bosan lebih kupilih melihat chat beberapa bawahan yang menanyakan keberadaanku, mengingat aku berlari tunggang langgang dari ruang rapat setelah mendapat pesan dari Dokter Han jika Jimin pingsan di sekolahnya.
Entah sudah berapa lama aku terlampau fokus dengan ponsel hingga tanpa di sadari aku mengabaikan Jimin saat ini. Hingga cengraman erat Jimin pada lenganku membuatku tersadar.
"Jimin-ah!" Panik, tentu saja segera ku tekan tombol emergenci di atas ranjang dengan berusaha menangkan Jimin.
"Hy......hyung sa....sakit......." Aku tau Jimin-ah, kumohon bertahanlah, suara yang bahkan tak bisa kuungkapkan.
Dokter Han segera datang dan memberi penanganan, diriku? Aku hanya dapat membisu di balik pintu. Meracau tak jelas dan mulai menjatuhkan diri di ubin rumah sakit.
Sampai kudengar suara langkah seseorang mendekat, suara berat nan serak memanggil namaku.
"Appa!" Kepalaku mendongak, manikku menangkap sosok ayah yang dapat kujadikan sandaran di saat seperti ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mine
Historia CortaAku tak tau bagaimana cara mengataknnya, namun aku tetap berusaha untuk merubahnya. Akankah itu semua akan bisa? Kumpulan cerpen........