***
Amerika Serikat.
Sebuah negara dimana anak-anak Jepang biasa menyebut negara lain selain jepang adalah Amerika, hanya Amerika tak ada negara lain bahkan sampai sekarang, para bocah tetangga Aki masih berpikir seperti itu. Namun anak tetaplah anak dengan ribuan pikiran polos sekaligus keras kepala.
Pagi tiba.
Setelah bersiap cuci muka, sikat gigi lalu berganti pakaian dan memakai sepatu olah raga, keduanya berlari kecil dari rumah Evan menuju taman kota. Tak ada 10menit namun sudah sampai, dada Aki terasa terbakar sekaligus pegal luar biasa di bagian kaki dan pundak mengingat dia nyaris tak pernah olah raga sejak lulus Sma.
"Ahh.. tidak.. aku, aku tidak kuat.. ah, Evan.." Keluh Aki sambil menjatuhkan diri di rumput, telentang lalu bersandar di sebuah pohon rindang.
"Ini baru sampai loh hahahh! Kita bahkan belum berlari mengitari taman."
"Tidak mau.. kau saja. Aku tetap disini menunggu.."
Evan menghela napas tak percaya ternyata Aki jauh lebih lemah dari yang dibayangkan. Dia berdiri tegap, menyeka keringat di pelipis dengan handuk yang tergantung di leher lalu menatap sekeliling mencari mesin minuman. "Jangan kemana-mana ya." Ujar Evan sebelum berlari menyebrang jalan membeli sebotol air mineral dingin.
Tak perlu disuruh, Aki jelas tak akan pergi jauh dari sini karena pasti tersesat. Memijat bagian paha dan pundak, matanya yang semula menatap lesu view sekeliling tak jauh beda dari jepang kini tertuju pada seorang lelaki berambut coklat agak pirang, seperti cat rambut telah memudar. Tubuhnya tak jauh berbeda dengan Evan hanya sedikit lebih tinggi, matanya biru laut cerah dengan alis tebal sangat sempurna. Tunggu, biru laut? Aki bahkan melihatnya dari pinggir jalan namun sorot mata itu seakan memancar dari kejauhan.
"Gila.. hah?!!"
Dia.. dia bicara dengan Evan?!
Benar saja. Mereka berbincang tampak senang dan saling merangkul satu sama lain sebelum Evan menunjuk kearah Aki, spontan lelaki kecil yang masih duduk di rumput ini membuang muka, menunduk dalam pura-pura tak melihat.
"Hei, kemari sebentar." Ujar Evan yang entah sejak kapan sudah berdiri mengulurkan tangan kearah Aki sekaligus mengulurkan botol air dingin.
"Ah! Apa??"
"Jangan melamun."
Aki menggeleng cepat, meraih tangan Evan lalu berdiri terhuyung sebelum berhasil seimbang setelah pegangan pada batang pohon. Mereka berteman. Evan dan lelaki ini, namanya Chris, satu tahun lebih tua dari Evan tersenyum simpul kearah Aki yang sudah kehilangan akal sekarang. Dia terpaku, kali ini benar-benar diam sulit berpikir jernih menatap canggung lelaki asing di hadapannya.
Butuh beberapa saat hingga Evan yang notabene acuh terpaksa mencairkan suasana dan Chris pergi setelah itu, melanjutkan kegiatan, dia hanya kebetulan lewat.
Evan yang sepanjang perjalanan pulang lebih banyak diam berpikir mencoba mencerna apa yang terjadi, dari banyaknya buku yang dia baca dan pengalaman lewat memori, dia berpikir bahwa Aki sedikit tertarik pada teman lamanya itu."Konyol." Umpat Evan dirumah. Sekarang sudah sore dan dia bersiap part time di cafe sebagai bartender, lumayan daripada menganggur.
"Kau bilang sesuatu?"
"Tidak ada. Aku berangkat dulu ya, kunci saja pintu besok aku pulang pagi."
"Unmm.. hati-hati."
"Jangan pergi terlalu jauh oke?"
"Iya, sudah sana jangan khawatir."
Pintu tertutup seketika suasana sunyi. Benar-benar sunyi sampai Aki sempat berpikir bahwa dia menjadi salah satu tokoh dalam film horror yang dihantui dalam rumahnya sendiri. Tiga kali seminggu Evan akan pergi malam hari dan jika harus jujur Aki takut tinggal sendiri dirumah, bahkan saat sang ibu ada shift malam bekerja, dia akan pergi kerumah Evan di jepang untuk menginap. Namun ucapan bohong tadi dirasa cukup membuat Evan tega meninggalkan Aki sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
30DAYS (Complete)
RomantikTentang gay dan demisexual. Dia yang selama ini terlihat tenang namun ternyata terlalu terpacu pada seorang batu bernyawa hingga tanpa sadar ada seseorang yang jauh lebih menyimpan perasaan diluar sana Hanya 30 hari waktu yang mereka habiskan untuk...