Tiga: Diskriminasi.

6K 780 22
                                    

Pesawat berbadan besar terbang menjauhi Belanda, sekarang berada selemparan batu di perbatasan antah berantah, penerbangan nonstop ini menuju Prancis.

Jungkook menyesap gelas anggur kemudian meletakkan benda tersebut kembali pada meja, satu orang pramugari terlihat berlalu meninggalkan senyum sopan setelah tadi menawarkan anggur lagi pada Jungkook.

Lisa datang dari bagian lain pesawat, rambut sebahunya rapi menggantung. "Selamat sore."

Jungkook mengagguk tidak ketara, cukup menyunggingkan senyum tidak selera.

"Maaf, tadi beberapa paspor usang milik kru kami bermasalah."

Pria itu mengibaskan tangan tidak apa. "Sudah makan?"

"Eh?"

"Sudah makan? Jika belum, mari makan bersama sambil kau mewawancaraiku."

"Tapi aku sedang mengontrol pola makan, jadi cukup makan disert saja bukan karbon."

"Sedang diet?"

"Bukan, hanya mengikuti saran teman, mereka bilang tubuhku terlalu kurus."

Jungkook menatap Lisa dari posisi duduknya, manggut-manggut seolah mengerti. "I think so." Pemuda itu berdiri, telapak tangannya merapikan kerah kemeja. "Mari, kita makan sore ini, supaya malam nanti tidak makan."

×+×

Jungkook tertawa kecil. "Hey, aku ini seorang konsultan keuangan profesional, sahamku ada dimana-mana, semua orang mencariku, bayaranku besar, perusahaan berjalan mulus oleh otakku, juga pendiri universitas berlabel ternama pada salah satu negara. Aku tidak peduli dengan kemiskinan, yang aku cemaskan hanya jika dunia ini dikuasai oleh segelintir penduduk bumi." Pria itu tertawa kecil. "Bayangkan jika sahamku gugur, tidak ada lagi yang menyanjung namaku, perusahaan gulung tikar, mahasiswi tidak lagi memedulikan universitas ternama, dan semua orang mendapat aturan oleh pihak penguasa dunia. Apa jadinya coba?"

Lisa mengerutkan dahi tidak mengerti, "Jadi kau takut jika kau jatuh miskin?"

Jungkook mengusap wajah. "Astaga." Pria itu menatap 'wartawan terbaik' di sebrang meja. "Bukannya kau pernah bersekolah di jurusan ilmu ekonomi? Kau tau, dulu seorang dosen dengan gelar doktor mampu aku debat, jadi kau tentu tau aku tipe mahasiswa yang seperti apa, bukan? Dan sekarang kau, bertanya seperti itu setelah panjang lebar aku menjelaskan. Kau tau, itu adalah konsep pengetahuan sosial tingkat sekolah dasar."

Lisa masih betah mengerutkan dahi, tidak tersinggung sama sekali oleh kalimat Jungkook. "Jadi?" ia menggantungkan kalimat.

Jungkook tertawa lagi. "Jadi aku bingung antara kau yang terlalu naif atau aku yang terlalu rumit."

Lisa masih mengerutkan dahi.

Jungkook mengehentikan tawanya, ia mengelap sudut mata dengan punggung telunjuk. "Begini, aku contohkan begini. Kekasihmu seorang CEO."

"Tunggu." Lisa menyela. "bagaimana kau tau aku punya kekasih?"

"Saat kau ke toilet tadi, layar ponselmu menyala menunjukan notifikasi dengan nama sweeterheart juga emotikon cinta merah."

"Lalu kau membukanya?"

"Untuk apa? Bukan suatu hal penting, 'kan?" Jungkook menatap Lisa. "Sudahlah, lupakan. Sekarang kembali pada contoh, kekasihmu adalah CEO perusahaan berlabel ternama, suatu hari perusahaan tersebut bangkrut akibat persaingan, namun karena semua jenis tanah ataupun benda memiliki asuransi, maka hidup kau dan kekasihmu terjamin."

"Jadi?" Lisa bertanya lagi.

"Astaga, aku bingung kenapa perusahaanmu mengirim orang sepertimu, bayangkan, kau ini seorang perempuan tergolong remaja yang begitu pintar dengan predikat sarjana ekonomi, namun kalah dengan bocah kelas lima sekolah dasar."

Jungkook menatap Lisa. "Seperti ini, kemiskinan dan kekayaan itu hal yang wajar dalam kehidupan. Jika menurutku, kedua nama tersebut adalah bonus dari kerja keras, kau berkerja keras menjadi wartawan membuahkan hasil berupa gaji besar, sedangkan jika kau bekerja asal-asalan bonusnya adalah upah tidak seberapa. Lima tahun lalu aku pernah mendebat salah seorang dosen penerima nobel ekonomi. Bisa bayangkan aku mahasiswa model seperti apa. Aku mengajukan pertanyaan bodoh padanya, andaikata dunia ini tidak pernah menemukan uang dan masih tetap dalam kondisi primitif melakukan barter pasti dunia akan makmur."

Lisa memerhatikan dengan hati-hati menunggu Jungkook buka suara lagi.

"Dosen itu menjawab " Tuan Jeon, Anda adalah mahasiswa terbaik dunia, jika pertanyaan seperti itu, orang gila pun dapat menjawab, seharusnya Anda dapat bersyukur dunia dapat menemukan uang, jika sampai sekarang dunia masih belum memiliki uang, apa Anda mau jika harus membeli pesawat ditukarkan dengan pulau? Jadi, jangan berani menulis macam-macam pada kertas ujian, atau Anda tidak akan lulus di kelasku."

Jungkook tertawa kecil. "Setelah dosen tua itu keluar, aku ditertawakan oleh seluruh teman kelas. Aku tidak malu, sumpah."

"Jadi kau golongan orang sosialis?" Lisa angkat suara setelah diam mengunyah kalimat Jungkook.

"Menurutmu?" Jungkook tertawa, menunjuk sepatu mengilap yang ia kenakan. "Aku ramah hanya untuk pencitraan, menaikkan kurva keuangan, memikat penguasa saham. Sebenarnya aku orang yang antisosial."

Lisa menatap bolamata Jungkook. "Lantas peduli apa kau soal kemiskinan? Bukankah kau dari orang kaya yang hobi menjilati uang dari mereka? Kau konsultan profesional? Atau jangan-jangan kau orang berpendidikan, pintar, mapan, berpengaruh, tetapi juga seperti teroris dan memiliki kepribadian ganda?"

Jungkook melipat lengan menatap Lisa. Nah, sekarang rasa percaya diri dan harga diri gadis itu sempurna kembali. Dia sepertinya siap berdebat diluar pertanyaan dari iPad nya, namun sayang, rupanya Jungkook terlalu malas untuk membuka suara kembali.

"Mungkin aku akan menjawab pertanyaanmu dilain acara makan malam lagi yang lebih nyaman, sekarang tidurlah sebelum pendaratan. Selamat malam."

Lisa mengikuti Jungkook berdiri, mengikuti pria tersebut berjalan di lorong pesawat. "Apa berarti kita akan makan malam lagi?"

"Mungkin, tapi jangan bawa kekasihmu."

×+×

With || Lizkook✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang