Enam: Pena.

4.3K 581 49
                                    

Jungkook tertawa kecil menatap dua orang di hadapannya yang duduk berdampingan, kini ketiganya tengah berada pada makan siang di restoran pusat kota. "Bukankah ini kebetulan yang luar biasa?"

Lisa mengagguk membenarkan, kemudian menoleh ke arah Jimin. "Kau tidak pernah cerita soal letak spesifik perusahaan tempatmu bekerja."

"Kau juga tidak pernah cerita soal siapa yang kau wawancarai kali ini."

Keduanya lantas tertawa.

"Aku merindukanmu."

"Aku juga."

"Oke." Jungkook menyela. "Kurasa ini hanya makan siang biasa, bukan ajang reuni."

Jimin mengembalikan tatapannya pada Jungkook. "Maaf, Pak."

"Ah." Pria itu menjentikkan jari. "Jangan terlalu formal, kau lebih tua, paham?"

"Maaf."

Jungkook mengibaskan tangan, tidak apa. Pria itu mengambil cangkir kopinya kemudian disesap dan meletakkannya kembali pada tempat sebelumnya. "Park Jimin, makalah untuk debat sudah selesai, bukan?"

Jimin membenarkan letak jasnya. "Sudah, makalah sudah selesai jauh-jauh hari, aku jamin isinya sangat komplit."

"Baik." Jungkook menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi berbahan besi. "Untuk Lisa, wawancara dimulai hari ini. Benar?"

Lisa mengagguk. "Iya."

"Begini, rencananya besok akan ada debat klub saham, jadi kau bisa ikut untuk mengambil beberapa materi atau jawaban dari soal-soal iPad-mu."

"Itu artinya, Lisa akan ikut denganmu?" Jimin tampak keberatan.

"Tentu saja, dan kau harus tetap tinggal disini untuk mengurus kepergianku."

"Tapi tidak bisa begitu."

"Tidak bisa begitu bagaimana?"

"Aku juga harus ikut mendampingi."

"Kau mau aku pecat?"

Jimin mendengus kesal, wajahnya merah padam menahan marah, kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia memijit pelipis.

Lisa mengusap pelan pundak Jimin, "Sudah, tidak apa. Kita sudah terbiasa berhubungan jarak jauh bukan?"

Jimin mengagguk lemas, tatapannya jatuh pada gelas lemon teh yang berembun karena dingin.

Jungkook menyeringai menatap datar kedua orang dihadapannya, "Pukul berapa kami bisa berangkat, Jim?"

Jimin menegakkan tubuh, melirik jam tangan silver pada pergelangan kirinya. "Pukul lima sore sudah bisa."

"Baik, sekarang mari kita kembali ke kantor untuk membereskan yang perlu dibawa."

×+×

"Hati-hati, kalau sudah sampai jangan lupa memberi kabar!" Jimin berteriak, mencoba mengalahkan bisingnya baling-baling hellikopter.

Lisa memberikan dua jempolnya, melambai-lambai sampai hellikopter tersebut memulai penerbangan dan Jimin mengecil akhirnya hilang tertutup ketinggian.

Lisa menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kulit asli, gadis itu membuka iPad yang selalu berada dalam genggamannya. "Maaf, Jung." Lisa berceletuk pada pria di hadapannya yang sedang mengetik sesuatu pada ponsel. Jungkook menoleh. "Boleh melakukan wawancara sekarang?"

Jungkook membenahi ponselnya dengan menggeletakkan pada meja. "Nanti, toh sepuluh hari kan kau bersamaku? Ini baru hari pertama."

"Tapi itu termasuk waktu yang mepet, aku harus menyiapkan berbagai macam hal lagi, bukan hanya mengurusi wawancara ini."

Jungkook meletakkan ponselnya. "Oke, sekarang? Mulailah."

Lisa menyalakan iPad-nya, jemari lentiknya menggeser layar kemudian mengeluarkan pena elektrik dari bawah iPad. "Reallistis dunia kadang tidak menjamin kemakmuran hanya karena uang kertas dan logam. Pendapatmu tentang vektor ganda kemiskinan."

Jungkook tertawa kecil. "Apa katamu, kemiskinan? Aku tidak pernah peduli dengan kemiskinan, bukan hakku untuk ikut campur dalam urusan orang-orang pinggiran."

"Maksudmu bagaimana?" Lisa bertanya bingung, alisnya bertemu, dahinya nimbul berkerut.

"Sumpah, aku tidak pernah peduli dengan kemiskinan, hanya saja cukup risau jika dunia di kuasai segelintir penduduk bumi."

Lisa diam memperhatikan.

"Ya, kau bayangkan saja satu kota tempatmu tinggal dipenuhi orang miskin. Kejahatan yang terjadi hanya level rendah, mabuk-mabukan, tawuran, perampokan. Kaum seperti ini tidak punya visi-misi dan pemikiran yang sistematis, katakan saja berpengetahuan dangkal, sehingga tinggal digertak, beres. Tapi bayangkan jika satu kota tempatmu tinggal dipenuhi orang kaya. Seluruh sumber daya yang berpotensi menghasilkan uang ditelan habis-habisan. Mereka berpengetahuan tinggi, jelas sekali berpikiran sistematis, tinggal mengeluarkan uang untuk membeli 'tangan kanan atau kiri'. Sungguh tidak ada hal yang mampu menghentikan mereka."

"Bisa dijelaskan dengan detail?" Gadis dengan predikat 'wartawan terbaik' itu bertanya.

Jungkook menyeringai datar. "Aku yakin kau tau maksudku."

"Maksudku, tidak semua pembaca majalah kami berpengetahuan luas dengan ilmu ekonomi, tidak masalah dengan kalangan sepertimu, namun orang awam yang membeli buku kami."

Jungkook menyandarkan punggung--anggap saja ini hobi--menatap santai Lisa, "Begini, nona. Coba kau bayangkan lagi, jika dunia ini hanya sebesar kota. Masyarakan masih menjalankan selayaknya profesi sebagai petani, peternak, penjahit, pengrajin, nelayan. Alat transaksi cukup menggunakan barter, hidup mereka makmur tanpa persaingan. Hingga Mister Smith menemukan uang, era indrustri datang, bersamaan dengan era teknologi. Barter sempurna dihapus atau dilupakan setelah 'uang' disempurnakan."

Lisa serius memperhatikan.

"Tenaga kerja semakin produktif, sekolah paling tinggi mulai dibangun walau teruntuk petinggi, tuntutan atas kemudahan transaksi semakin mudah. Mister Smith datang lagi membawa ide tentang pendirian bank, benar sekali, mereka butuh bank untuk perekonomian yang melesat lebih hebat. Tapi, siapa yang percaya kepada selembar kertas? Mister Smith mengacungkan tangan percaya diri. Bagaimana jika bank mencetak uang dengan jaminan satu gram emas? Cemas masyarakat menguap. Seiring era berjalan, perkembangan uang melesat bebas, bagai portal menuju dunia lain, komoditas ekspor dan impor menjamin perut tikus berdasi membesar. Tapi mereka lupa, itu hanya selembar kertas atau bahkan serat pohon yang sering diacuhkan, mereka terlalu naif tentang kekayaan hingga tidak peduli soal kemiskinan. Kau tadi bertanya apa, Lisa? Aku tidak akan pernah peduli soal kemiskinan, karena daya rusaknya hanya itu-itu saja, kurang gizi, busung lapar. Tapi, kekayaan daya rusaknya mengerikan. Mereka tidak peduli kemiskinan, kerusakan alam akibat tangan mereka dan masalah kacangan lainnya."

"Tunggu." Lisa menunjukkan kesepuluh jarinya dihadapan Jungkook. "Kau sebagian dari mereka, kau hidup dari golongan seperti itu, namun perilakumu seolah kau membenci mereka?"

Jungkook menaikkan satu alis kirinya. "Lalu?"

"Ah." Lisa menjentikkan jari. "Aku tau maksudmu soal kau seorang teroris, jadi kau itu berperan sebagai paradoks dalam kurva dan vektor namun kau menutupi dengan topeng bernama pencitraan, padahal tujuanmu untuk memanipulasi kurva tersebut. Iya 'kan?"

Jungkook mencondongkan tubuh, mengedipkan satu matanya, berbisik seduktif. "Good girl."

Kru hellikopter menghampiri keduanya dari arah belakang. "Kita akan melakukan pendaratan, Pak."

Jungkook menoleh ke arah Lisa, megangkat satu garis sudut bibir. "Baik Lisa, simpan sebagian pendapatmu soal aku, kita akan mendebat seorang lintah darat."

×+×

With || Lizkook✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang