Tujuh: Kubu Arogan.

3.8K 521 32
                                    

Park Jimin

Park Jimin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

×+×

Riuh tepuk tangan dan sorak menggema memenuhi sudut-sudut aula dengan bangku berundak rapi ketika moderator menyambut pria berwajah tegas khas Asia. Ia tersenyum penuh wibawa, melambai pada penonton debat yang jelas dari latar belakang konglomerat. Pria tersebut berjalan mendekati salah satu mimbar, mengagguk sopan pada moderator, kemudian moderator menyambut seorang pria lagi yang amat familiar dalam dunia moneter, siapa lagi kalau bukan Jeon Jungkook?

Pemuda umur duapuluh delapan tahun itu melangkah pasti, sedikit melirik Lisa yang berdiri di samping panggung.

"Selamat pagi, dua orang hebat berkumpul dalam pagi ini untuk memperebutkan gelar." Moderator membuka sesi dengan basa-basi. "Baik, pernyataan umum untuk dua kubu. Dalam sesi pertama tidak akan menyinggung berbagai pihak yang bersangkutan, baik itu golongan, ras, suku, individu, kelompok, maupun negara. Sebut saja A, penghasil minyak bumi atau sentral minyak bumi seluruh dunia, melakukan kegiatan ekspor dan impor selayaknya negara, namun salah satu tangan ekspor melakukan hal curang dengan cara mengoplos minyak bumi tersebut menggunakan campuran bahan lain. Pertanyaanya, solusi inovatif menangani oknum tidak bertanggungjawab. Pendapat dimulai dari kubu A, Tuan Song Kyu Hyun, dua menit dari kalimat pertama."

Seluruh mata menaruh atensi pada pria umur tigapuluh tahunan, berjas hitam, dasi merah, sepatu mengilap, rambut hitam disisir klimis. Ia sedikit merapikan jas, mencondongkan tubuh pada mikrofon kecil di atas mimbar. "Pernyataan yang menarik." Dua menit diputar dari sekarang. "Sebut saja A, bisa diibaratkan paru-paru dunia soal hasil tambang berupa minyak bumi. Apasih yang menarik dari sekedar minyak yang berasal dari bumi, hingga oknum tidak jelas mengelabuhi konsumen? Jawabanya mudah, rinci, dan singkat. Itu bukan sekedar minyak biasa, melainkan sumber minuman berbagai produk, bersifat mutualis pada lingkungan, benda itu dilindungi oleh undang-undang, dilapisi pasal-pasal, membuatnya amat keramat, harga jualnya pun menduduki urutan kedua setelah bensin. Sudah tau benda tersebut benda keramat, tapi masih saja ada tangan jahil. Kembali pada peran pemerintah, seharusnya oknum tersebut ditindak lanjuti lebih jauh, bila pasal tidak mempan naik lagi menjadi peraturan pemerintah, jika peraturan pemerintah tidak juga mempan, naik lagi kepada keputusan presiden, jika masih tetap saja, pikirkan hukuman tanpa toleransi."

Dua menit habis, moderator menyanggah, kemudian memperesilahkan Jungkook.

"Baik." Dua menit mulai berputar. "Peran pemerintah memang penting atau turut andil dalam hal ini, namun kembali pada diri sendiri, tidak ada asap kalau tidak ada api, tidak ada akibat kalau tidak ada sebab. Jika oknum itu menguntit, pasti ada beberapa faktor pendorong, kita tidak dapat menghakimi sesuka kita, lihat dari sudut pandang yang berbeda. Pemikiran kolot dan realistis itu tidak sama, tidak boleh asal memfonis hukuman mati, penggal atau sejenisnya, jika kita melakukan apa bedanya dengan mereka? Katakan saja saya membela pada oknum itu. Tapi, saya tidak benar-benar membela, Anda juga harus membedakan membela dan memanusiawikan, negara sudah membentuk pasal yang terangkum dalam undang-undang, badan-badan penyelidik sudah mapan terpercaya. Namun sayangnya, oknum teroris ini tidak kapok walau diancam pidana mati, kalau ditanya tentang cara mengatasinya, memang jelas tidak ada, jika sudah tertangkap satu pasti masih ada dua, begitu seterusnya. Jadi, hal yang perlu dilakukan hanya memutar otak untuk menjebak."

Riuh tepuk tangan mengudara memenuhi langit, gumaman kagum terdengar dari kursi-kursi.

×+×

"Tadi itu sangat keren, Jung." Lisa bersungut dengan dua jempol di sisi pipi kanan kirinya. Kini mereka sedang berjalan menuju ruang ganti.

Jungkook menoleh, lengkap dengan segaris senyum pada wajah tegasnya. "Benarkah?"

"Iya. Apa kau menang?"

"Belum, masih ada beberapa tahap lagi."

Lisa tersenyum. "Oke." Gadis itu menunjukan kepalan tangan kanannya. "Fighting."

Jungkook terkekeh, memasukkan kedua telapak tangannya di saku celana. "Terima kasih."

Lisa mengerutkan dahi. "Untuk?"

"Untuk wawancaranya."

"Kau ini." Gadis itu tertawa kecil. "yang ada aku yang berterimakasih, karena kau mau diwawancarai oleh wartawan abal-abal sepertiku."

Kedua orang itu tertawa. Keduanya sampai pada ruangan berpintu coklat bertuliskan kamar ganti.

"Aku tunggu diluar."

"Jangan kemana-mana, tunggu aku."

"Siap, pak."

Jungkook menutup pintu. Lisa melangkah menuju kursi tunggu dekat ruangan, membuka tas mini yang terselampang dibelikatnya sejak tadi, kemudian mengambil ponsel.

Empat puluh sembilan pesan tidak terbaca tertera di layar kunci, rata-rata dari Jimin--kekasihnya. Buru-buru gadis itu membuka dan membaca isinya.

5.30 PM
massage from
sweeterheart ❤ : [48] Lisa kau tidak apa-apa? Jangan diam saja. Aku akan segera menyusul dengan polisi.

Dahi Lisa sempurna berkerut, baru saja ia hendak mengetik pesan namun suara pecahan kaca terdengar berasal dari kamar ganti tempat Jungkook berada.

Lisa berlari menuju pintu, sesosok pria berpakaian serba hitam lengkap dengan penutup wajah berlari tunggang langgang dari ruangan, Lisa segera masuk, menghampiri Jungkook yang tergeletak bersama pecahan kaca di sekitarnya.

"Astaga, Jungkook." Lisa berseru, membalikkan tubuh Jungkook yang tengkurap. "Kau, berdarah."

"Ini lebam, bodoh."

"Tapi sudut bibirmu mengeluarkan darah."

"Sudah tidak apa."

Lisa bangkit, sambil memapah tubuh Jungkook, lengan gadis itu melingkar pada pinggang Jungkook, membawanya menuju sofa dekat lemari baju.

"Sebentar, aku akan telefon Jimin." Lisa cekatan mengambil ponsel, namun tangannya di cengkram oleh Jungkook.

Pemuda itu menggeleng. "Tidak usah. Jangan berlebihan."

Lisa menghela, mematap lebam pada pinggiran mata, tulang pipi, pelipis, dan sudut bibir yang mengeluarkan darah. "Lalu sekarang? Kau tidak malu wajahmu masuk berita tapi kacau seperti ini?"

Jungkook mengedikkan bahu. "Aku tidak peduli, karena ini sudah biasa aku alami."

"Hah?"

"Persaingan tidak sehat, malu karena harga diri dijatuhkan, kalah telak, merupakan suatu yang mudah ditemukan dalam dunia bisnis."

"Cara menyikapimu?"

"Dibiarkan saja, kalau sudah bosan pasti berhenti."

"Kalau tidak bosan?"

"Ya, takdir."

Lisa mendengus.

"Hey, ayo keluar, paling tidak menjernihkan pikiran. Ayo berlibur ke Busan, kudengar ada pertunjukan lampion."

Lisa menoleh menatap Jungkook, mencari sisi kebohongan dalam mata pria tersebut, namun nihil. "Benar?"

Jungkook mengagguk.

"Woaaa!! Terima kasih, ajak Jimin sekalian."

"Mana bisa."

"Loh kenapa?"

"Dia harus menjaga perusahaan, mana mungkin dia ikut, nanti kalau perusahaan bangkrut bagaimana? Di bom bagaimana? Kebanjiran bagaiman?"

Lisa mendengus. "Baiklah."

Jungkook tersenyum penuh kemenangan, berdiri cepat seakan tubuhnya tanpa lecet. "Lets go girl."

×+×

With || Lizkook✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang