٩2٩

1K 103 9
                                    

   Sejak kelulusan sebulan yang lalu hari ini aku resmi mendapat panggilan kerja dari Dokter M.Dustin Al-Iman, itu yang tertulis dalam secarik surat panggilan kerja, biar kutebak singkatan M pasti dari kata Muhammad, singkatan seperti itu sudah tidak aneh lagi bagiku selaku umat Islam, yah karena banyak yang menggunakan nama sang Baginda Nabi.

   Masih berdiri di depan meja rias dalam kontrakanku semasa SMK, membetulkan letak kerudung instan ala perawat dan segera menyemprotkan parfum.

   Di luar dapat kutemui Mang Wawan tukang bubur ayam yang selalu lewat depan rumah, dan Bu Inah tetanggaku yang memang jika pagi seperti ini selalu menyiram tanaman di halaman rumahnya.

   "Eh Neng Ayi, mau angkat ka sekolah?" Tanya Bu Inah.

   " Oh engga Bu saya sudah kerja, hehe."Jawabku dengan kekehan bahagia yang tidak dapat kubendung.

   "Alhamdulilah atuh ya Allah, si Neng udah kerja aja." Sembari melirikku dengan senyum sumringah, membuat hatiku menghangat bahwa masih ada orang yang memang perduli padaku bahkan bukan kerabat sekalipun.

   "Iya Bu Alhamdulilah, saya duluan ya Bu mau beli bubur buat sarapan." Ucapku.

   " Iyah Neng sok silahkan." Ucapnya sembari tersenyum seperti biasanya.

   Di tempat biasa Mang Wawan sudah Stay dengan gerobak buburnya, membuatku semangat melangkah, berniat mengisi kotak bekalku, karena kalau dimakan di sini bisa-bisa aku terlambat, jadi kuputuskan saja untuk membawanya dalam kotak bekal.

   "Assalammualaikum Mang!" Sapaku seperti setiap paginya.

" Walaikumsalam Neng, mau beli bubur?" Pertanyaan lucu, iyalah mau beli bubur dia kan tukang bubur bukan tukang bakso.

"Iya Mang, masukin kotak bekal saya aja ya Mang, biasa bubur spesial ya!" Ujarku.

   Jempol tukang bubur langganan itu mulai terarah ke arahku.
   "Siap Neng perawat."

   "Ah, si Mamang mah bisa wae." Kekehku, rasanya jika aku di bilang seperti itu seperti memang perawat betulan,tapi memang betul si aku ini perawat.

   Setelah membeli bubur di Mang Wawan dengan segera aku keluar gang daerah kontrakan, berniat menstop angkot, sebab motorku di pinjam Tita sahabat satu kontaranku dari SMK, dia disalurkan ke Rumah Bersalin.

   Dapat kurasakan sesak dalam suasana pagi disaat badan telah benar-benar masuk dalam angkot, inilah yang dirasakan pekerja yang tidak mempunyai kendaraan, membuatku lebih bersyukur karna mempunyai kendaraan, ya walaupun hanya motor matic, tapi lumayanlah.

   Setelah melewati pertigaan patung harimau kuning Yonif 301 Sumedang, anggkot kuberhentikan tepat pada tempat berplang Praktek Dokter M.Dustin Al-Iman. Nama yang bagus, memang bagus kan.

   Aku segera turun ke tempat itu, seperti rumah namun di jadikan tempat praktek? tapi katanya, kudengar tempat praktek Dokter Dustin selalu ramai, ah entah kenapa aku lebih menyukai memanggil atasan baruku dengan nama Dustin, rasanya seperti nama bule saja. Memang mimpiku punya suami bule, kalau tidak blasteran lah.

   Tampak di dalam ada dua pasien yang tengah menunggu giliran di periksa gigi, ya Dokter Dustin adalah dokter umum sekaligus dokter spesialis gigi. Sebenarnya dua pasien itu kucoba tebak-tebak saja pasien giginya, sebab mereka dari tadi memegang pipi, dan pastinya jika seperti itu mereka sakit gigi.

   "Mbak Ayyina yah?" Tanya salah seorang suster di Nurse station yang kukira bagian Farmasi, ketika aku telah menginjak ruang tunggu pasien, reflek aku mengangguk mengiyakan.

   " Iya Bu saya Ayi, asisten barunya dokter Dustin." Astaga aku lupa! biasanya kan dokter itu dipanggil Iman, tidak apalah toh sudah nelah di lidahku seperti itu.

   " Mbaknya langsung masuk ruangan saja, Dokter sedang menangani pasien." Dan langsung kuangguki saja.

" Yasudah Bu saya ke dalam yah, terimakasi."

   Dan akhirnya aku benar-benar masuk ke dalam, ternyata rumah praktek ini, bukan maksudku rumah yang dijadikan tempat praktek ini rumah yang bisa dibilang besar, dua tingkat dengan ruangan yang lumayan besar di setiap ruangnya, kukira rumah ini baru di bangun satu atau satu setengah tahun lalu, karena dua tahun ke belakang di sini seingatku hanya berdiri sebuah rumah sederhana.

   " Sus Ayyina?" Suara berat ala pria dewasa itu membuatku berhenti melamun menerawang, kepalaku otomatis menoleh pada sumber suara.

   Berdiri seorang pria di sisi brankar, kukira tingginya kisaran 185 cm, melihat dia yang begitu tinggi, tubuhnya tegap dan kekar bahkan bisa jadi dia mempunyai abs, tidak bisa dipungkiri.

   " Sus!" Panggilan itu membuat lamunanku buyar kembali.

   Aku harus berkilah! Pikiranku tiba-tiba berkata seperti itu karena rasa gengsi yang meluap.

   " Maaf Dok saya kurang konsen kepala saya berdenyut," Kulihat ekspresinya di balik masker, matanya hanya nampak setengah pertanda dia tersenyum.

   " Oh tidak apa-apa, kalau kepala anda sakit anda bisa duduk saja dulu di kursi." Telunjuknya mengarah pada kursi kebesarannya, aku menurut saja dan duduk di sana.

   Kusimpan tas jelly transparan ku di atas mejanya, serta tas kain kotak bekalku sekaligus kutaruh di sana dan segera merunduk luruh di kursi kebesarannya, huh kenapa aku merasa jadi suster tidak tahu diri? baru pertama kerja saja sudah ngibul gara-gara gengsi, tapi tidak apalah ini masalah harga diri.

   Setelah dua pasien yang tadi tersisa di luar selsai di periksa oleh dokter Dustin? dia menghampiriku, oh Astaga! betapa malunya aku yang hanya leha-leha di kursinya ini. Dengan segera aku berdiri, mempersilahkannya duduk.

   "Silahkan dok! maaf di hari pertama saya bekerja saya malah seperti ini."

   Dan hukum karma memang berlaku, denyutan nyeri itu benar-benar menyerang kepalaku. Pusing!.

   " Eh Sus anda tidak apa-apa?." Tanyanya sembari menyanggaku, eh aku terhuyung?

   " Pakai saja dulu kursi saya," Ujarna dengan nada yang tenang, dan aku mengangguk saja.

   Di acara duduk ku, kucuri-curi sedikit pandang padanya, rambutnya coklat tua bukan hitam seperti orang Indonesia pada umumnya, matanya yang coklat terang, sama bukan seperti orang Indonesia pada umumnya yang beriris dominan berwarna hitam kecoklatan, atau warna kopi, ditambah hidung dibalik masker yang belum juga dia lepas, tampak begitu mancung.

   " Terimakasi Dokter Dustin, sudah perduli!" Ujarku padanya.

   Entah apa yang salah, kepalanya langsung menoleh padaku, apa ada yang salah dengan perkataanku?

   "Baru anda yang memanggil saya Dustin, setelah Mimih dan Pipih saya." Jelasnya.

   Mulutku sontak berkedut, menahan tawa. Mimih, pipih? Biar kutebak pasti si Dokter Dustin ini anak yang manja atau dimanja, dari panggilan pada orangtuanya pun sudah dapat kubaca.

   " Maaf Dok kalau anda tidak nyaman, mungkin saya salah panggil, Dokter Iman." Ulangku, mengikuti orang-orang, padahal aku suka beda dengan orang lain, termasuk dalam memanggil atasan baruku.

   "Tidak perlu diganti, Sus bisa panggil saya Dustin jika Sus nyaman." Ujarnya.

   Sus? panggilan yang aneh namun rasanya menarik karena baru kali ini aku dipanggil seperti ini.

   "Baik Do...ok."Ucapanku tersendat tatkala sang dokter membuka masker yang tadi terpasang, dia benar-benar bukan orang Indonesia?

*

Tbc!.

Jangan lupa tinggalkan jejak,dengan memvote and comen,terimakasi buat yang udah mau baca;),Asalammualaikum!.

Love,Author.

Senandung Hati Ayyina(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang