٩7٩

693 69 2
                                    

   Hari ke delapan, tepat hari dimana kepulangan Dokter Dustin, sekarang aku dalam perjalanan menuju rumah sakit dengan diantar oleh Otong, keponakanku, si Prancis KW.

   Ya Otong memang jago bahasa Prancis karenanya dia kujuluki Prancis KW, bahkan dia lulusan Universitas Prancis lewat jalur beasiswa, pria itu memang mempunyai otak yang pantas diacungi jempol, dia memang keponakanku namun umurnya lebih tua dariku, saat ini dia menginjak umur 24 tahun, dia sekarang bekerja di perusahaan Denis Group, perusahaan besar industri di Bandung.

   "Na rumah sakit Pakuwon kan?" Tanyanya. Ya pria tajir itu tengah menyetir mobilnya, merk mercendes.

   Mapan, tampan, juga berwibawa, itu adalah nilai plus dari pria itu. Biar kubilang Otong memang benar-benar hebat di usianya yang masih muda, dia bahkan sudah mempunyai rumah sendiri, sebuah mobil dengan merk tidak main-main dan sebuah motor Ducati kesayangannya.

   " Iya ke sana Tong!" Timpalku.

   "Ga bosen Na jadi perawat gajinya segitu-gitu aja," Ucapnya dengan nada menggoda, keponakan besarku memang selalu memanggilku, Ina. Dia terkekeh dengan godaanya, godaan yang memang tidak serius.

   Aku tertawa nyaring setelahnya, menggabungkan tawaku dan tawa Otong.
   " Engga tuh, apalagi sekarang gajiku dobel Tong!" Ujarku semangat.

   "Tetap saja gedean gaji ku!" Setelahnya dia tertawa bahkan matanya sampai mengeluarkan air mata, huh dia! jabatan dan gaji selalu saja dijadikan lelucon menyombongkan diri.

   Sesampainya di rumah sakit, dia hanya memperhatikanku hingga aku masuk ke dalam area rumah sakit, setelahnya dia pergi, katanya dia ingin jalan-jalan mengelilingi kota tahu ini sambil beli tahu.

   Kulangkahkan kakiku menuju ruangan Teh Nisyah, rasanya ingin segera melihat perkembangan perempuan itu, walaupun kutahu penyakit kanker takan mudah mengalami perkembangan, tapi jika tuhan sudah bermukzizat tidak ada yang tidak mungkin kan? Seharunya perempuan jelita itu dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar dari Pakuwon, namun dia tetap ingin tinggal bersama Mas nya di kota tahu ini.

   Setelah sampai di ruang VIP yang selama seminggu kuhuni untuk mengurus Teh Nisyah, di sana Dokter Dustin nampak sudah duduk di samping Teh Nisyah yang tengah terbaring lemah, tangan Dokter Dustin menggenggam erat tangan semulus porselen milik Teh Nisyah, gadis berdarah Belanda asli namun berbahasa Indonesia sekaligus berkewarganegaraan Indonesia itu. Manisnya mereka, namun kadang kupikir mereka nampak lebih dari seorang adik-kakak.

   "Assalammualaikum!" Salamku, tepat ketika aku berdiri  di ambang pintu.

   Mereka menoleh berbarengan, Dokter Dustin nampak tersenyum ke arahku begitupun Teh Nisyah diapun tersenyum kecil dengan bibir merah muda pucatnya.

   " Walaikumsalam!" Mereka serempak sekali menjawab.

   "Ayo Sus ke dalam jangan berdiri di sana terus," Ucap Dokter Dustin, aku mengangguk dan mulai melangkah ke arah mereka berdua, hingga menyejajarkan diri dekat Dokter Dustin yang tengah duduk di dekat brankar Teh Nisyah.

   " Sus!" Suara berat itu memanggilku, betapa hatiku bergemuruh tertimpa badai kembali, bahkan detakan jantungku pun menggema-gema.

   " Ya Dok?" Aku berpaling ke arahnya, menatapnya dengan tanda tanya.

   " Terimakasi ya telah menjaga istri saya dengan baik, " Deg! jantungku seakan terpelanting jatuh, dengan hati yang robek menganga.

   Teh Nisyah, perempuan perparas cantik itu bidadari dunia Dokter Dustin? saat itu duniaku seakan hanya gelap semata, lalu mengapa tiga bulan ke belakang dia seperti memberiku harapan?

Senandung Hati Ayyina(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang