٩4٩

765 83 0
                                    

Awal dimana semuanya terasa nyaman,dan menjadi titik awal kisah nyataku adalah pada saat Dokter Dustin mengantarkanku pulang.Saat itu suasana kota Sumedang nampak hampir sama dengan kota Bogor,dingin membeku karna hujan yang turun tepat,ketika mobil Dokter Dustin melaju keluar gerbang klinik untuk mengantarku pulang.

Dari tadi dadaku terus bergemuruh,rasanya seperti diterpa badai.Tatapanku lurus ke depan pada rintiknya hujan yang tengah menari jatuh ke dasar bumi,jemariku terus bertautan gelisah,tadi rasanya tidak canggung namun entah kenapa canggung itu kembali menggelora.

"Dok nanti di depan,di jalan Siliwangi tepat di depan gang,berhenti di sana ya Dok,mobil gak bisa masuk kontrakan saya lewat gang."Tuturku sembari menoleh ke arahnya.

" Oh iya Sus."Jawabnya.

Dan akhirnya mobil Dokter Dustin pun berhenti tepat di depan gang,dengan segera aku melepaskan setbelt yang merangkap tubuhku selama perjalanan.

"Sus."Panggilnya,dan aku menoleh ke arah Dokter Dustin.

" Iya Dok?."Tanyaku.

"Apa perlu saya antarkan Sus sampai ke dalam?,takutnya ada apa-apa lagi." Tuturnya,tentu saja aku langsung menggeleng.

"Tidak usah Dok,saya sudah biasa kok lewat sini,Dok lekas berangkat saja ke rumah sakit,takutnya terlambat."Jawabku.

" Yasudah,hati-hati ya Sus Ayy"

Setelah dia berkata seperti itu aku turun,hingga aku menyaksikan dia pergi dengan mobilnya yang meluncur menekuni jalanan kota Sumedang.
Aku belum beranjak masuk pada gang,masih terdiam.Lagi-lagi mengingat panggilannya yang unik,Sus Ayy,rasa-rasanya baru dia yang memanggilku seperti itu.

****

Seperti perkataannya kemarin aku berangkat pada jam 7 lebih,mendekati jadwal praktek Dokter Dustin.Aku sudah berdiri di depan gang bersiap menstop angkot seperti kemarin,motorku di pakai Tita lagi,rasanya tidak tega membiarkannya naik angkot sedangkan jarak tempuh pada Rumah Bersalin tempatnya bekerja lebih jauh dari tempatku bekerja di tempat Praktek Dokter Dustin.

Saat aku sampai di tempat prakteknya suasana masih lengang bahkan klinikpun baru buka,di sana Mang Ujang selaku penjaga membukakan gerbang dan mendial monitor bertuliskan 'buka'.
Di Nurse Station sudah nampak Bu Iren yang tengah membereskan obat,kuhampiri dia.

"Asalammualaikum Bu."Sapaku.

" Walaikumsalam Mbak Ayi."Sapanya balik,dan kembali berkutat dengan obatnya lagi.

Sejenak kami sama-sama terdiam,dengan aku yang ikut duduk di Nurse Station sembari mengamati data-data klinik.

"Bu Dokter belum datang ya?."Dan pertanyaan itu tiba-tiba muncul di benakku,entah kenapa.

Bu Iren menoleh padaku dan tersenyum.
" Belum Mbak,kayanya sebentar lagi deh,soalnya tadi dia whatsapp saya ada urusan di rumah sakit jenguk ibu."Tuturnya.

"Oh gitu.Ngomong-ngomong ibu siapa ya Bu?."

Pertanyaan itu belum selsai kuteruskan,dan Dokter Dustin yang baru datang membuatku tidak mendapatkan jawaban.

"Sus Ayy,tolong segera ke ruangan saya."Ujarnya tanpa basa-basi,membuatku terperangah,Dokter Dustin kenapa?,kemana dia yang kemarin friendly?.

" Ehm Bu saya ke ruangan Dokter ya."Ujarku.

"Iya Mbak silahkan,cepat masuk,kayaknya mood Dokter Iman kurang baik hari ini."Jawabnya sembari meringis.

Bingung,itulah yang aku rasakan.Entah kenapa Dokter Dustin menjadi berbeda,apa dia sengaja bersikap baik di awal supaya aku mau bekerja dengannya?entahlah.Saat kubuka pintu setelah mengetuknya terlebih dahulu,dia nampak sudah berkutat dengan data pasien.

Aku menghampirinya,merogoh bubur Mang Wawan yang kubawa dalam kotak bekalku,pesanan dia kemarin,yah aku tidak melupakannya.

"Dok,ini bubur yang Dokter minta kemarin." Dia hanya mengangguk dan memberi isyarat untuk menaruh buburnya di meja kerjanya.

Situasi ini sungguh tidak kuinginkan,aku segera beranjak duduk di kursi ujung ruangan,mengambil note untuk membaca daftar pasien minggu lalu yang akan kontrol hari ini.Aku tidak berani bicara,hanya diam yang kulakukan,mengamati Dokter Dustin sesekali yang nampak mengurut pangkal hidungnya,seperti sedang merasakan pusing atau sebuah beban.

Hingga tepat pada jam 5 sore sikapnya masih sama seperti itu,dia hanya diam,dan tentunya aku tidak berani menegurnya.

"Permisi,Mbak bisa ikut saya?."Tanya Bu Iren yang tiba-tiba membuka pintu ruangan Dokter Dustin.

Berasa mendapat kunci kebebasan dari situasi mencekam ini,kuangguki saja permintaan perempuan setengah baya itu,mungkin umurnya kisaran 45,namun masih tetap bugar.

" Saya izin sama Dokter dulu ya bu."Pintaku.

"Iyah Mbak,saya tunggu di Nurse Station ya." Ujarnya.

"Iya Bu."

Dengan langkah tidak yakin aku menghampiri Dokter Dustin, kulihat dia yang masih terus berkutat pada dokumen dan data pasien.Bubur yang kubawa tadi pagipun tidak disentuhnya,mengetahui hal itu entah kenapa hatiku berdenyut nyeri,padahalkan terserah dia mau memakannya atau tidak,tapi rasanya memang sudah seperti ini,mengingat tadi pagi aku rela mengantri hanya untuk seporsi bubur Mang Wawan yang sedang ramai pengunjung,dan dia sama sekali tidak memakannya.Sudahlah.

"Dok saya izin mau keluar sebentar dengan Bu Iren."Ucapku setelah sampai di hadapanya,dan dia hanya mengangguk. Sungguh?,apa salahku.

"Anda bisa langsung pulang."Ha?,apa maksudnya.Apa dia bermaksud mengusirku?.

Tanpa banyak bicara lagi kuambil tasku berikut kotak bekal berisi bubur yang tidak tersentuh,dengan sedikit menghentakan kakiku aku berjalan keluar,katakanlah tidak sopan,rasanya hatiku sudah sangat kesal,berjam-jam didiamkan,dan kemana Dokter Dustin palsu yang kemarin?.

" Permisi."Setelahnya aku berlalu pergi.

Di luar Bu Iren nampak sudah menunggu,bahkan dia sudah menjinjing tasnya,karna memang klinik hari ini sudah tutup pada jam 5 sore,pasiennya pun tidak terlalu banyak,hanya kisaran 35 orang.

"Ayok Mbak kita pulang bareng."Loh bukannya dia ada perlu denganku.

Belum bertanya,kami berjalan berbarengan menuju rumah padang depan klinik,belum dia bahas tentang keperluannya.Hingga akhirnya kita sampai dan mencari tempat duduk di dalam,Bu Iren duduk di depanku.

"Mbak tadi Dokter tidak banyak bicara ya?." Tanyanya memecah hening,ketika kami menunggu pesanan.

"Iya Bu,apa Dokter emang begitu sifatnya?." Tanyaku tak acuh,rasa-rasanya masih kesal saja.

"Engga Mbak,engga!.Dokter Iman itu orangnya baik banget,tapi nampaknya dia sedang ada masalah mungkin."Tuturnya.

Aku tidak menjawab hanya diam,ya mau bagaimana lagi,rasanya aneh bahkan menurutku nampak bagai pencitraan,di hari pertama masuk dia begitu baik,dan di hari kedua dia begitu dingin.

" Mbak Ayi maklumi ya,Dokter Iman tidak seperti itu kok."Bu Iren masih bicara seperti itu.

"Engga apa kok bu."Dan itulah yang akhirnya keluar dari mulutku secara tidak ikhlas,tidak tahu saja Bu Iren,bahwa tadi Dokter Dustin nampak seperti mengusirku dari ruangannya.

Tbc.

Senandung Hati Ayyina(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang