Sejak saat itu, pertama kali aku melihat keseluruhan wajahnya setelah yang kulihat hanyalah mata tajam berwibawa di balik maskernya, wajahnya ternyata Indo. Kuketahui dari dia.
Saat itu dia terdengar terkekeh di hadapanku, aku hanya bisa diam dan terus memandangnya seksama, jika dia memandang balik aku akan langsung mengalihkan pandang.
"Jangan kaget dengan wajah saya, saya peranakan Indonesia-Prancis dan darah Belanda juga mengalir dalam tubuh saya dari mendiang Opa saya. Pipih saya dari Prancis sedangkan Mimih campuran Indonesia-Belanda." Dia menjelaskan tanpa kusuruh, dan lagi-lagi kuangguki saja, Masih canggung!
" Saya kira wajah Dokter Indonesia asli, Dok tadi bilang peranakan!?" Tanyaku dengan mata memicing. Dia mengangguk menjawab.
"Jangan seperti itu, itu pantasnya untuk sapi!" Ketika aku bilang seperti itu dia malah tertawa renyah dengan segala wibawanya.
" Di kedokteran itu sudah biasa Sus." Ujarnya santai.
Saat itu, entah kenapa berbincang dengannya terasa langsung klop, dan begitu nyaman, seperti saudara ataupun sahabat karib yang lama terpisah bertemu kembali dan berbincang kembali. Rasanya tidak ada lagi canggung, dan rasanya sudah mengenal sejak lama padahal kali itu kita baru bertemu.
"Sus belum sarapan?" Tanyanya sembari menatap jam berminiatur Profesor, di dinding ruangannya yang baru menunjukan pukul 07:30 pagi.
Aku menggeleng, dan langsung menyentuh tas bekalku.
" Saya bawa bubur ayam, tapi belum sempat saya makan,"Jelasku."Mungkin Sus pusing belum sarapan, lebih baik makan saja dulu buburnya mumpung belum jam delapan pagi, sebenarnya praktek saya di sini dari jam delapan pagi sampai jam lima sore, kadang jika pasien banyak nyampai jam tujuh atau delapa malam, selanjutnya saya bekerja di rumah sakit." Jelasnya.
" Jadi saya bekerja di sini sampai?" Tanyaku.
"Sampai saya berangkat ke rumah sakit, selama saya praktek di sini Sus juga harus ada di sini sebagai asisten!" Ucapnya. Rasa-rasanya Dokter Dustin ini suamiable banget ya, Dokter, mapan, dan tampan.
" Oh iya Dok."
"Ayo makan buburnya supaya pusingnya mereda, nantikan Sus harus asisteni saya." Ucapnya.
Aku membuka bekalku di depannya, terserah dia mau nilai bagaimana cara makanku, mau nilai seperti genderewo pun tak apa asal perut ini terisi penuh. Masuk sudah satu suap bubur di pencernaanku, membuat maagku tidak jadi kambuh.
"Dokter mau coba? ini enak loh bubur langganan saya, nama penjualnya Mang Wawan." Tawarku.
"Lengkap ya Sus infonya, sampai nama penjualnya Sus sebutkan." Ujarnya sembari terkekeh, seperti sudah lama mengenal dia mengambil alih kotak bekalku, menyentuh sendok yang tadi kusentuh.
"Eh Dok jangan, itu sendok bekas saya, biar saya bawain lagi dari dapur Klinik ya?" Tawarku.
Tapi yang kulihat hanyalah gelengan.
"Tidak usah, sendok ini saja Sus. Saya yakin kok Sus tidak mengidap sakit aneh, nyobain nya juga cuma satu suap, kalau benar enak nanti saya titip bubur seperti ini sama Sus." Setelah berkata demikian, masuklah sesuap bubur dari sendok yang sama.Apa secara tidak langsung aku dan Dokter Dustin ciuman? ah mana mungkin hanya orang bodoh yang mendefinisikan seperti itu, toh cuman satu sendok berdua, mana mungkin bisa disebut ciuman.
" Enak, besok saya titip ya Sus." Aku mengangguk saja.
Tangan besarnya menyodorkan kembali buburku padaku.
"Sus makan lagi, nanti pusing lagi loh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Hati Ayyina(END)
Fiksi Remaja"Mencintaimu adalah luka,namun mencintaimu juga adalah cinta yang indah".-Ayyina. *** "Saya sadar bahwa saya mencintai kamu,sewaktu kamu tidak ada saya kehilangan kamu,saya kehilangan separuh bagian diri saya,terasa hampa.Maaf telat menyadarinya hin...