Melihat Ayya yang duduk termenung. Nevan merasa bersalah. Tidak seharusnya ia membentak Ayya. Apapun yang terjadi di antara mereka saat bukan salah Ayyara atau Nevan ataupun Raizel. Seperti yang dikatakan Ayya, semua ini salah takdir.
Nevan meninggalkan dapur lalu duduk di samping Ayya. Mereka berdua kembali diam. Nevan merasa tidak ada lagi yang bisa mereka bicarakan. Semua kata-kata yang Nevan rangkai untuk mendapatkan hati Ayya, sudah menghilang dari dalam kepalanya.
"Kaki kamu gimana?" tanya Ayya tanpa mau menatap Nevan.
"Baik Ra." begitu juga Nevan yang enggan menatap Ayya.
"Masih sakit?"
"Sedikit."
"Kamu kapan sampai di Jakarta?"
"Sabtu siang."
"Kamu siapin ini semua sendirian?"
"Iya. Untuk boneka aku bawa dari Bandung."
"Kalau foto itu?"
"Foto itu juga. Waktu aku pulang dari rumah sakit, foto itu udah ada di kamarku. Kak Naura cetak itu dari foto yang aku kirim."
"Keluarga kamu tahu, kalau kamu merencanakan ini semua buat aku?"
"Tahu. Mereka juga berharap kalau kamu bisa maafin aku."
"Aku minta maaf Van..."
"Bukan salah kamu Ra. Aku yang salah. Aku terlalu percaya diri sampai aku yakin kalau kamu nggak ninggalin aku."
"Kamu yang ninggalin aku Van." Ayya mencoba mengingatkan bahwa dia juga korban.
"Iya. Aku yang ninggalin kamu. Dan sekarang aku juga ditinggalkan. Kamu apa kabar? Baik kan? Dan semalam aku baru tahu kalau ternyata kamu masih kerja di Emerald. Harusnya Denis nggak bohong. Supaya aku nggak perlu kayak gini."
"Bentar, kok aku ngerasa seolah-olah kamu lagi menyalahkan aku ya? Padahal kamu yang pergi. Kamu yang ngilang tanpa kabar. Dan aku yang ditinggalkan." Emosi Ayya mulai tersulut karena sejak tadi Nevan terus menyudutkannya.
"Satu bulan lebih aku nunggu kamu. Aku terus-terusan dikatain bego sama Berlian setiap aku nangis karena kamu. Di ceritaku, kamu yang brengsek Van!" suara Ayya bergetar menahan emosi sekaligus menahan tangis. Sedangkan Nevan diam tanpa ekspresi dan memperhatikan Ayya dengan seksama.
"Aku udah kayak orang gila. Dalam sehari aku bisa ratusan kali ngecek handphoneku nunggu kabar dari kamu. Tiap pulang kerja aku berharap kamu ada di tempat parkir. Nyatanya kamu nggak pernah datang." Ayya mulai meneteskan air mata. Ayya ingin mengungkapkan semuanya, dan berharap Nevan bisa mengerti jika bukan hanya Nevan yang sakit, Ayya juga tersakiti.
"Setiap aku denger lagu yang sering kita dengerin aku nangis. Tiap jam makan siang aku nangis karena selalu inget pertemuan pertama kita. Tiap aku masak, aku nangis. Di kepalaku cuma ada kamu, kamu dan kamu. Dan sekarang kamu bilang kalau aku yang ninggalin kamu?!" tangisan Ayya pecah mengingat semua kerinduan yang pernah ia pendam sendirian.
Nevan mendekat lalu membawa Ayya masuk ke dalam pelukannya. Nevan juga mengusap-usap punggung Ayya perlahan. Mencoba menenangkan Ayya yang masih menangis.
"Sampai akhirnya aku datang ke rumah ini. Rumah ini kosong. Satpam bilang, kamu emang udah pindah. Dari situ aku mulai sadar kalau kamu emang udah lupa sama aku."
"Maaf, Ra." Nevan melepaskan pelukannya lalu menatap Ayya dengan senyuman manis. Nevan juga menyeka air mata di wajah Ayya.
"Tapi aku seneng Ra."
"Maksud kamu?"
"Aku seneng setelah tahu kalau kenyataannya kamu juga kehilangan aku."
"Gila kamu!" Bukannya marah, Nevan malah tersenyum lebar mendengar Ayya mengucapkan kata gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through The Night
General Fiction[MATURE ROMANCE] DIHAPUS SEBAGIAN (Sad story! Kalau nggak mau nangis jangan dibaca.) "Karakter, organisasi, tempat, perusahaan, pekerjaan dan kejadian dalam tulisan ini hanya fiktif." __________________________________ ―semuanya terlalu indah sekal...