15

228 25 4
                                    

Genn berjalan sesuai arahan Geno karena penglihatan gadis itu terhalang oleh topeng yang ia kenakan. Sedangkan Geno, pria itu curang. Ia hanya memakai kostum nya saja. Dengan alasan. "Gue jadi kompas aja ya. Gue yang arahin. Kalau sama-sama make topeng sama-sama susah jalannya."

Genn sebenarnya tidak setuju. Tapi ia juga tidak mau egois. Geno juga ada benarnya. Akan lebih cepat melarikan diri jika Geno bisa memberi arah.

"Sekalian nyelamatin jerawat lo dari pandangan orang-orang." tidak masalah. Genn sudah kebal dengan setiap hal yang bisa saja keluar secara tiba-tiba dari mulut Geno. Genn sudah siap dengan setiap hal itu. Baik, buruk. Hati nya ikhlas.

"Kenapa ngak lewat gerbang depan aja. Gue ngak bisa manjat." Genn protes saat Geno menyuruhnya untuk memanjat tembok besar yang ada di depan mereka. Genn benar-benar tidak punya keterampilan memanjat sedikit pun.

Genn tidak menyiapakan diri untuk hal seperti ini. Karena sebelumnya Genn belum pernah kabur, sembunyi, dari orang-orang atau pun keramaian. Tapi semenjak bergabung di ZIS. Kabur, dan sembunyi. Tiba-tiba menjadi rutinitas. Tapi tetap saja kabur dengan memanjat tembok bukanlah hal yang pernah ada dalam rencana Genn.

Terkadang memang ada hal dalam hidup yang harus kita lakukan meskipun tanpa perencanaan. Tanpa pernah di tanya, kamu siap?

"Goblok! Satpam pasti nanya kalau lewat depan. Ingat kita bawa kabur kostum."

Genn malas mengakui, tapi Geno benar. Geno benar sesekali. Tidak sering.

"Gue bantu. Lepas dulu." Geno menyarankan Genn untuk melepas kostum nya. "Lempar aja." ujarnya menyuruh Genn melempar kostum itu ke sembarang arah.

"Naik pundak gue."

"Cepet." Geno jadi gemas sendiri melihat Genn yang terus plonga-plongo. Seperti orang kebingungan.

Genn menurut. Ia tidak diberi waktu untuk memilih mau atau tidak. Dengan cekatan Geno membantu Genn agat dapat naik ke pundak nya dan mejangkau ujung tembok.

"Nanti turun nya gimana Geno?" suara Genn setengah gemetar. Mungkin karena ia begitu cemas dan khawatir.

"Ya loncat lah."

"Ngak bisa." gadis itu hannya berdiri dengan kaki gemetar saat ia sudab berhasil mencapai puncak dari tembok.

"Gue dorong nih?" Geno mengambil ancang ancang alih-alih ia akan mendorong Genn di saat itu juga.

Mau tidak mau, dari pada ia harus di dorong secara kasar oleh Geno. Genn memberanikan diri meloncat hingga kakinya menyentuh tanah dan mendarat dengan selamat.

"Gimana Genn udah?"

"Udah."

Giliran Geno. Ia pemberani. Tak banyak drama yang terjadi.

***

"Ke arah mana rumah lo?" ujar Geno setelah mereka sudah cukup jauh beberapa meter dari sekolah.

"Gue ngak bisa pulang sekarang."

Mendengar ucapan Genn mata Geno tiba-tiba melotot. Lebih besar dari biasanya. Ia terlihat begitu terkejut karena Genn berucap seperti itu dengan santainya. Seolah-olah Genn lupa bahwa demi mengantar Genn pulang Geno rela tidak menonton pertunjukan sampai selesai. Geno rela baju bagian pundak nya kotor. Dan ia rela membuang waktunya sia-sia.

"Gue ngak pernah minta di anterin pulang. Kan mintanya keluar dari sekolah." respon Genn santai.

"Sinting!"

Geno terlalu kesal hingga ia berjalan lebih dahulu meninggalkan Genn di belakang.

"Lo marah No?" Genn mencoba mengejar dan mensejajarkan posisi nya dengan Geno. Langkah pria itu sangat besar, Genn jadi begitu kelelahan mengikutinya.

"Mau lo kemana sekarang?" meskipun terlihat kasar. Geno tetap punya hati nurani. Ia juga tidak tega melihat Genn kelelahan mengejarnya. Geno menghentikan langkahnya.

"Ngak tau--" ekspresi Geno terlihat berubah jadi semakin masam setelah kalimat itu Genn ucapkan.

"Tapi gue ngak bisa pulang. Bokap bakal heran kan gue pulang sebelum acara selesai." lanjut Genn, berharap Geno dapat mengerti dan merubah ekspresi.

"Bokap lo kerja di ZIS?"

"Iya."

"Ikut Gue, mau?"

"Kemana?"

"Udah ikut aja."

"Iya."

***

Genn duduk dengan sangat hati-hati di sofa berwarna merah polos tampa ornamen tambahan. Ia berusaha agar setenang mungkin dan tidak menimbulkan suara.

Gadis itu masih heran saat tiba-tiba Geno mengajak nya ke rumah sakit. Lalu masuk ke ruang rawat yang terbilang mewah dan ada fasilitas penjagaan di luar.

Dari sofa dapat ia lihat Geno yang sedang berdiri di ujung ranjang dengan wanita terkapar di atasnya. Wanita itu terlihat sekarat. Geno hanya berdiri sambil menatap. Mungkin sedang berdoa atau menangis. Genn penasaran tapi yang hanya bisa ia lihat adalah punggung lebar Geno.

Tapi dari sekilas penglihatan Genn tadi. Wanita itu sangat cantik meskipun sekarat. Genn pikir ia lebih cantik dari Genn meskipun Genn sedang sehat.

"Satu-satu nya orang yang karbondioksida nya gue tunggu tiap hari." Genn tersentak kaget. Karena Geno tiba-tiba membuka suara. Genn keliru Geno tidak terlihat seperti sedang ataupun habis menangis.

"Dia Mama gue. Lagi sakit. Gue ngak tau sakit apa. Ngak pernah di kasi tau." Geno bercerita lepas pada Genn meskipun tidak di tanya. Ia beranjak duduk di samping Genn.

"Dengerin gue ya Genn. Lo bisa lupain kalau ngak penting. Denger aja." masih dengan sifat nya. Geno yang suka mengatur-atur Genn. Dan Genn juga sama. Selalu menurut pada Geno.

Genn menganguk.

"Pas Smp gue nakal. Ngak pernah befikir buat belajar sama sekali.Orang tua juga waktu itu ngak peduli. Mama bilang dia cuman pengen gue seneng. Toh masih kecil. Papa gue juga kerja di ZIS kayak bokap lo. Awalnya gue bahagia di Smp ngak di atur sama sekali. Tapi gara-gara bokap naik pangkat di ZIS. Gue di pindahin. Sma nya harus di ZIS. Sejak saat itu gue di paksa memuaskan gengsi bokap. Bokap bilang dia malu kalau gue ngak berprestasi di ZIS. Bokap bilang pangkat dia tinggi di ZIS dan gue ngak boleh bikin dia malu. Bokap sibuk banget. Sampe lupa sama gue sama mama. Bokap sibuk sama gengsinya. Gue di paksa belajar." Geno mengambil sedikit jeda untuk bernafas.

"Mama ngak setuju gue di gituin. Tiap hari mereka berantem gara-gara gue. Jadi gue nyerah gue belajar. Tapi bukan buat menuhin gengsi bokap. Tapi buat ngelindungin mama. Setelah nya mama sakit. Sekarang gue jadi berasa ngak punya alasan lagi belajar. Mama udah jauh dari hal yang buat di menderita. Gue ngak sedih mama disini. Ngak papa. Asalkan jauh dari Papa. Yang penting mama tetep harus napas."

Genn diam. Menatap Geno yang terus melirik ke arah mamanya. Genn tidak mengerti kenapa Geno bercerita padanya tentang hal-hal seperti ini.

"Udah itu aja. Kalau ngak penting lo bisa lupain. Makasih ya."

"Ngak. Penting kok. Tapi maksud nya lo ngak bakal belajar lagi?"

"Pengen nya sih gitu."

"Lo rengking satu loh?."

"Itu masalah nya. Belajar udah jadi kebiasaan. Rengking satu jadi cukup sulit gue lepas. Gue jadi terbiasa."

"Jangan di lepas. Jangan lepas hal-hal berharga dari hidup dengan mudah. Karena dapetin ngak semudah ngelepas."

"Iya tahu. Makanya gue milih jadi pohon biar bisa bikin papa kesel. Karena gue belum bisa lepas rengking satu."

"Papa lo marah?"

"Iya dia maluu banget. Sampe nolak datang. Hahahha"  Tidak tau. Atau mungkin ada yang Genn lewatkan. Rasanya ini kali pertama Genn mendengar Geno tertawa selepas itu.

Memang, Geno memang sering mentertawakan Genn. Bahkan hingga perutnya sakit. Tapi kali ini suara tawanya beda. Sumber tawanya beda. Ini terlihat lebih tulus dan alami.

Geno terlihat begitu senang saat mengklaim bahwa ia berhasil membuat papanya malu.

Tim mana nih
#timann #timgeno

The InsekyurrTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang