02 - Susu Cokelat

26K 4.2K 411
                                    

"Jadi gimana?"

Pertanyaan tersebut terlontar begitu saja dari mulut si hidung bangir beriringan dengan seringai penuh kemenangan yang membuat Jaemin ingin merobek mulutnya sekali saja.

"Anggap gue tolol—but sorry, gue belom begitu mengerti maksud lo apa," jawab Jaemin. Pemuda manis itu mengaku jika ia belum begitu paham dengan serentetan kalimat yang telah diungkapkan Jeno, membuat si hidung bangir menghela nafas pasrah ketika ia harus mengulang kalimatnya.

"Heh, kanjeng ratu." Jeno memanggil Jaemin dengan setengah hasrat meledek. "Setelah ini, nggak ada pengulangan lagi. Kalau lo belom mengerti, berarti kesempatan lo hangus. Paham?"

Jaemin mengangguk lucu sementara wajahnya menunjukkan sedikit ketegangan.

Di lain sisi, Jeno mendengus kasar. Tidak menyangka jika dirinya akan benar-benar berhadapan secara langsung dengan seorang primadona sekolah hanya karena masalah asmara. Tentu saja, Jeno tidak dapat membayangkan jika nantinya, ia akan berakhir menjadi kekasih Na Jaemin yang dipuja-puja oleh segala kalangan.

Rasanya begitu mengganggu.

Jeno tahu jika pemuda manis di hadapannya membenci kekerasan, memiliki etika dan harga diri setinggi langit, menaati segala peraturan, dan sangat anti dengan kehidupan malam. Oh, ayolah. Semua orang memahami karakternya—bahkan bibi kafetaria mungkin mengetahuinya.

Jika Jeno benar-benar menerima Jaemin sebagai seorang kekasih, ia tidak bisa membayangkan kehidupannya tanpa alkohol, rokok, balapan, dan berbagai hal lainnya yang ia gandrungi. Tidak lucu bagi seorang berandal untuk bermalam minggu di sebuah restoran hanya untuk menemani sang kekasih sementara kawan-kawan lainnya sibuk mengikuti balapan dan memenangkan berbagai macam hadiah istimewa.

Oleh sebab itu, Jeno mencoba untuk mengikuti saran dari Seungmin yang didapatnya kemarin.

"Sama seperti yang gue katakan tempo hari, lo dan gue—kita nggak sama. Lo anak baik-baik sementara gue berandalan," jelas si hidung bangir. "Satu minggu. Lo punya waktu selama satu minggu untuk membuktikan ke gue kalau lo juga bisa menjadi seorang berandal. Bolos sekolah, ikut balapan—apapun itu. Pokoknya, lo punya satu minggu untuk membuktikannya."

Jeno menyempatkan diri untuk memandang Jaemin yang berdiri termangu di hadapannya. Si hidung bangir yakin jika pemuda tersebut mendengar keseluruhan dari kalimatnya sehingga ia tersenyum miring kemudian.

"Paham atau—"

"Tunggu 'bentar!" Jaemin menjerit, membuat Jeno memelototinya sementara ia mengedarkan pandangan ke sekitar lapangan basket outdoor tempat keduanya berdiri. Ketika dirasanya tidak ada satupun siswa maupun siswi yang melintas, Jaemin pun kembali berbicara. "Kalau gue berhasil membuktikannya selama seminggu, apa yang akan terjadi?"

Oh, damn.

Jeno tidak pernah memikirkannya—ya, sama sekali tidak pernah. Tetapi, apa boleh buat—

"We're going on a date." Si hidung bangir menjawab dengan setengah hati. "Puas lo?"

Jaemin pun menggeleng. Surai hitamnya turut bergoyang seiring dengan gerakan kepala yang dibuatnya. Hal tersebut sukses membuat Jeno mengerutkan kening, bingung dengan apa yang hendak disampaikan oleh pemuda manis tersebut.

"Mana puas kalau cuma nge-date doang?" Jeno memelototi Jaemin yang berbicara dengan gamblangnya. "Kenapa nggak pacaran aja?"

Si hidung bangir mengerang dalam hati. "Fine." Jeno mengumpat. "Kalau itu mau lo."

Di lain sisi, Jaemin segera menjulurkan tangan kanan-nya dengan senyum mengembang. Dedaunan yang jatuh serta angin yang berhembus mendramatisir suasana yang terjadi di antara keduanya.

"Sepakat!" Jaemin berseru. Pemuda manis itu masih menunggu Jeno untuk menjabat tangannya sebagai tanda jika sebuah persetujuan telah dibentuk.

Setelah satu menit membiarkan tangan mungil di hadapannya menganggur, Jeno pun menjabatnya.

"Sepakat." Si hidung bangir berujar dingin. Dengan bergegas, pemuda tersebut menarik kembali tangan kanan-nya. "Dan, oh. Gue nggak bertanggung jawab atas semua resiko yang lo ambil selama satu minggu, ya."

Jaemin mengangguk sebelum ia sempat meraih sebuah mantel hangat berwarna merah dari tote bag hitam yang setia dibawanya sejak kelas sepuluh. Pemuda itu menaruh ranselnya sejenak dan segera mengenakan mantel hangat tersebut secepat kilat. Jeno yang menangkap kejadian tersebut pun mengerutkan kening.

"Buru-buru amat lo?" Jeno bertanya.

"Oh, enggak." Sang primadona menggeleng, kemudian sibuk menyampirkan kembali ransel Converse miliknya. "Cuaca hari ini dingin. Kalau gue nggak pakai mantel, bisa-bisa gue sakit."

Jeno berdecih mendengarnya. "Cupu lo."

Jaemin pun tidak menghiraukan kalimat si hidung bangir. Pemuda manis tersebut justru menemukan sesuatu yang tidak seharusnya berada di dalam tote bag miliknya. Dengan segera, Jaemin menjulurkan benda tersebut kepada Jeno yang semakin mengerutkan kening.

"Mau susu nggak?" Jaemin bertanya. Pandangannya seolah memohon kepada si hidung bangir untuk mengambil kotak susu cokelat tersebut dari tangannya.

Di lain sisi, Jeno sedikit menunduk guna menyetarakan tingginya dengan Jaemin. "Mending lo kasih aja ke bestie lo itu—siapa namanya? Donghyuck, 'kan?" Ia berujar. "Manusia pendek lebih membutuhkan susu dari pada gue yang sebentar lagi bakal menyusul tingginya Jisung."

Jaemin pun terlihat panik. Jika saja Donghyuck masih berada di sekolah, sudah ia berikan kotak susu tersebut kepadanya sejak awal. Namun sayangnya, "Donghyuck absen hari ini."

Sebuah decihan lagi-lagi terdengar dari mulut Jeno. "Ya kalau lo nggak suka, kenapa lo beli susunya?" Si hidung bangir bertanya. "Sayang banget kalau ujungnya bakal lo kasih begini."

Senyum miris terpatri di wajah sang primadona. "Gue lactose intolerant," jawabnya. "Dan, susu ini, bukan gue yang suka. Biasanya juga gue kasih ke Donghyuck kalau dia masih ada—"

Walau Jeno mengumpat, tetapi pemuda berhidung bangir di hadapannya itu tetap meraih kotak susu tersebut dari tangan mungil milik Jaemin dan melepas plastik sedotannya. "Beres, 'kan?"

Jaemin pun tersenyum lebar. Kelegaan terpampang di wajahnya yang manis. Pemuda tersebut membungkukkan tubuhnya di hadapan Jeno dan mengucapkan, "Terima kasih," dengan lantang sebelum punggungnya perlahan memudar dari pandangan si hidung bangir yang tetap berdiri di atas lapangan basket dengan sekotak susu cokelat dalam genggamannya.

"Well."

Jeno menusuk kotak susu tersebut dan meminum seperempat isi darinya.

"Enak juga susunya." []



∘₊✧───tbc───✧₊∘

© Rayevanth, 2020

Wayward • Nomin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang