"Wah, kamu lagi?"
Jang Dongyoon tersenyum lebar. Seorang pemuda berhidung bangir baru saja membuka pintu ruang konseling dengan kasar, membuat balok kayu tersebut berdecit kecil.
Tanpa berbasa-basi, Jeno menarik sebuah bangku berwarna kelabu yang terletak di hadapan sang guru dan mendudukinya. Wajahnya masam, kentara sekali jika suasana hati-nya sedang tidak baik. Dongyoon tidak tahu apa yang terjadi pada pemuda itu sehingga ia hanya bisa menduga-duga.
Satu, dua menit berjalan sementara keheningan masih melanda di antara keduanya.
Sang guru konseling hanya bisa mendengus. Rasanya percuma menunggu si hidung bangir untuk menjelaskan alasan di balik kedatangannya pagi hari itu.
"Jadi," Dongyoon berucap. "Masalah apa lagi yang akan kita bahas hari ini?"
Jeno mendesah pasrah. Kedua bahu-nya terangkat. Sesungguhnya, ia sendiri juga tidak begitu paham dengan kondisinya saat ini. Hanya sebuah titah mutlak dari Bu Wendy yang membuatnya melangkah menuju ruang konseling dan duduk di hadapan Jang Dongyoon alih-alih berada di ruang kelas, memperhatikan mata pelajaran pertama seperti murid lainnya.
"Jen?" Sang guru memilih untuk kembali menyapa. "Are you okay?"
Si hidung bangir kembali menekuk wajah. "Menurut Bapak sendiri 'gimana?"
Dongyoon berdecak. "Yaa saya enggak tahu sampai kamu menjelaskan permasalahanmu pagi ini."
Pria tersebut sudah lelah. Berulang kali pemuda di hadapannya datang ke dalam ruangan ini dan selalu dirinyalah yang membuka percakapan, mencoba untuk menguak kebenaran dari setiap kasus yang melibatkan si hidung bangir. Pernah terjadi keheningan selama kurang lebih tiga puluh menit sewaktu Jeno mendatanginya bersama Yangyang tahun lalu akibat diyakini sebagai seorang tersangka pelaku pencurian uang kas milik kelas mereka. Dongyoon berharap jika kedua pemuda tersebut dapat mengakui kesalahan mereka sendiri, tetapi hasilnya nihil. Yangyang pun sama sekali tidak ingin mendengar penjelasan si hidung bangir sehingga keduanya bertengkar hebat kemudian.
Pada akhirnya, kedua pemuda tersebut kembali dipertemukan dalam kelas yang sama pada tahun berikutnya. Yah, hitung-hitung sebagai sebuah hukuman.
"Kamu ada masalah lagi sama Yangyang?" Dongyoon bertanya, membuat Jeno mengangkat salah satu dari kedua alisnya.
"Hah? Enggak." Pemuda itu mengelak. "Tadi saya disuruh Bu Wendy ke sini."
"Oooh? Tumben!"
Baiklah. Dongyoon kini merasa tertarik dengan situasi yang terjadi. Selama ini, si hidung bangir selalu menolak untuk berurusan dengan seorang pembina OSIS seperti Bu Wendy. Biasanya, pemuda itu akan bergegas mengaku dan minggat begitu saja dari sekolah. Tidak ada yang tahu pergi kemana ia setelahnya.
Menyadari pandangan penuh selisik dari sang lawan bicara, Jeno pun memilih untuk mengalah dan bercerita.
"Sepatu saya disita." Ia menghela nafas, berusaha terlihat tenang sewaktu Dongyoon tertawa. "Bapak memang nggak sadar kalau saya nyeker?"
Tawa Dongyoon semakin menggema di sepenjuru ruangan ketika kata terakhir diucapkan oleh si hidung bangir. "Kenapa disita?" Pria itu memutuskan untuk bertanya setelah berhasil menenangkan diri dengan mengatur kembali posisi duduk-nya agar lebih nyaman. Berkali-kali ia mengangkat bokong dan menggesekannya di atas kursi berputar guna mencari posisi nyaman tersebut.
"Warnanya cokelat."
Jeno menjawab dengan singkat. Lagi-lagi mengundang tawa kecil dari sang lawan bicara yang sesekali bertingkah jahil dengan mengintip kedua kaki miliknya di balik meja.
"Terus?" Dongyoon menopang dagunya di atas telapak tangan sembari bertanya. "Pasti enggak hanya itu. Biasanya juga cuma disuruh bersih-bersih toilet kalau ketahuan pakai sepatu yang nggak sesuai."
Benar-benar.
Ingin rasanya Jeno merobek mulut Dongyoon agar berhenti tersenyum menyebalkan seperti itu.
"Saya ketahuan bolos."
Mau tidak mau, Jeno kembali mengingat sebuah peristiwa yang terjadi beberapa saat yang lalu. Sebuah peristiwa yang mampu membuat Bu Wendy memandangnya gemas. Wanita itu terlihat begitu marah kepada si hidung bangir sejak kejadian itu terjadi pagi hari tadi.
"Bu Wendy tahu, terus saya disuruh ke ruang konseling buat introspeksi. Cuma, jujur aja, saya juga enggak tahu harus introspeksi apa." Jeno menjawab dengan sangat gamblang. "Tapi, tadi-"
Sesungguhnya, Jeno merasa tidak yakin. Apakah ia harus memberitahu Dongyoon perihal peristiwa yang sebetulnya terjadi atau tidak? Bukan merupakan sebuah intensi baginya untuk menjatuhkan nama seseorang dengan pamor gemilang di hadapan publik seperti sang primadona.
"Na Jaemin enggak sengaja ikutan terseret kasus karena disangka ikut bolos sama saya."
Sekali saja.
Cukup sekali saja si hidung bangir menolong pemuda manis yang kini dapat dipastikan tengah belajar di ruang kelas-nya dengan tidak tenang itu. Oh, ayolah. Mana ada seorang murid yang merasa tenang apabila dirinya hampir tertangkap basah ketika hendak membolos padahal ia memiliki wibawa serta wajah yang harus dijaganya selama ini? Rasanya sulit untuk dibayangkan.
Sementara itu, Jang Dongyoon hanua tertawa sembari sibuk memutar bangkunya.
"Kayaknya kisah cinta anak muda jaman sekarang lebih rumit, ya?" Ia bertanya kepada Jeno sebelum berhenti berputar dan kembali menaruh dagunya di atas kepalan tangan. "Ah, lucu banget, 'sih."
Si hidung bangir mendelik. "Apanya yang lucu, coba?"
Dongyoon hanya tertawa kecil. "Sepertinya stereotype yang bilang kalau semua anak nakal enggak punya hati salah besar." Pria itu kembali mengamati kedua telapak kaki milik si hidung bangir yang sudah tidak beralaskan. "Saya yakin Na Jaemin pasti berbuat sesuatu lagi, 'kan?"
Walau ingin mengelak, rasanya mustahil dapat membohongi seorang guru bimbingan konseling sehingga Jeno memilih untuk mengangguk kemudian.
"Tuh, 'kan? Enggak usah saya ceritain pun Bapak bisa tebak sendiri." Jeno berdecih tidak suka setelahnya.
"Terus? Terus?" Dongyoon menggeser bangkunya supaya mendekat ke arah si hidung bangir. "Kamu belain dia?"
"Mau dibilang ngebela, 'sih, enggak juga. Saya cuma bilang ke Bu Wendy kalau dia tadi mau ambil barang yang ketinggalan di rumah dan saya bersedia nganterin. Tapi setelah nganterin si cupu ke sekolah, saya mau bolos ke markas." Jeno menjawab dengan sangat gamblang. Tanpa Dongyoon sadari, pemuda itu baru saja mencuri sebuah permen susu di atas meja. "Untung Bu Wendy blo'on."
Pria tersebut melontarkan tawa setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh si hidung bangir.
Alih-alih menghukum Lee Jeno beserta segala kekasaran yang dimilikinya dalam bertutur kata, Jang Dongyoon justru menanggapi beberapa lelucon pemuda itu. Menit demi menit terus berlalu hingga jarum jam menunjuk ke arah angka sembilan. Keduanya tidak tersadar telah larut di dalam sebuah percakapan yang cukup panjang mengenai berbagai hal terabstrak yang pernah ada selama dua jam sampai seorang murid mengetuk pintu ruangan guna memanggil Jeno. Rupanya, waktu introspeksi diri yang dimiliki oleh si hidung bangir telah lama usai dan terdapat beberapa murid lain yang harus mengunjungi ruang konseling.
Sebut saja mereka Hwang Hyunjin dan Kim Seungmin. Dua murid bodoh yang tiba-tiba bercumbu dengan begitu erotis sewaktu mata pelajaran matematika berlangsung.
Ingin rasanya Jeno tertawa keras menanggapi kebodohan kedua sahabat-nya tersebut. []
∘₊✧───tbc───✧₊∘
© Rayevanth, 2020
[ author's note ]
GAK, GAIS.
AKU TIM HYUNJEONG, santai:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayward • Nomin ✓
FanficIn which a do-gooder tried to be a wayward. © Rayevanth, 2020