"Masih 'ngambek?"
Pemuda berhidung bangir itu bertanya kepada sang primadona yang duduk di hadapannya sembari menoleh, masih enggan bertemu tatap.
Sudah sepuluh menit keheningan melanda di antara keduanya. Tidak ada perbincangan, tidak ada pandangan yang bersiborok, dan tidak ada minuman yang diteguk. Padahal dua gelas Americano dengan sepiring New York Cheesecake tersedia di atas meja dan hanya sedikit sekali bagian yang berkurang.
Merasa lelah dengan situasi tersebut, Jeno memutuskan untuk menjahili Na Jaemin sedikit.
"Cake-nya enak, 'nih-"
"Makan aja."
Dua kata yang dilontarkan oleh sang primadona berhasil membuat Jeno mengerang. Ingin rasanya si hidung bangir menyerah begitu saja jika ia tidak merasa sedikit bersalah kepada pemuda di hadapannya itu.
"Woi, Jaem." Jeno memilih untuk berbincang seperti biasa ketimbang bermulut manis setelahnya. "Lo... beneran masih marah karena toko es krim-nya enggak terima debit card?"
Ia tidak habis pikir dengan Na Jaemin. Pemuda manis itu benar-benar dilanda emosi ketika baik dirinya maupun Jeno tersadar jika tidak ada uang tunai yang mereka bawa hari itu. Pelayan di balik meja pembayaran sudah menolak permintaan keduanya dengan halus sehingga Jaemin hanya bisa menekuk wajah sembari berjalan menjauhi kedai hidangan manis tersebut. Jeno yang menyaksikan peristiwa itu hanya bisa melongo sebab tidak ada perlawanan yang Jaemin kerahkan demi membayar dengan kartu debit sehingga ia memutuskan untuk mengajak sang primadona menuju salah satu gerai Starbucks yang tersedia di kawasan yang sama.
Jaemin pun berdecak. "Stop it. Gue enggak marah-"
"Cuman 'ngambek," ucap Jeno dengan nada mengejek. "Sama aja itu."
Sang primadona kemudian menyempatkan diri untuk meraih dan meminum sedikit dari segelas Americano yang dibeli Jeno untuknya. "Yaa, habisnya es krim di situ enak."
Jeno mengernyit. "Enak mana sama Coldstone atau Häagen-dazs?"
"Chitta's Homemade Desserts, 'lah."
Si hidung bangir kembali menyesap segelas Americano miliknya sembari mendengarkan penjelasan berlanjut terkait kedai hidangan manis yang kini tengah menjadi buah bibir keduanya.
"Oh. Kalau lo mau tahu, Uncle Chitta itu salah satu teman Mama semasa kuliah." Jaemin berujar menerangkan. "Orangnya baik, ramah, dan eksentrik. Manis, 'sih, buat ukuran pria tiga puluh tahun."
Mendengar sebuah pujian meluncur dari mulut sang primadona membuat Jeno yakin jika keduanya memiliki hubungan yang cukup erat. Na Jaemin yang dikenalnya tidak mudah memuji seorang anak manusia lainnya, apalagi sosok yang tidak ia kenal.
"Tadi, sayangnya Uncle Chitta lagi enggak ada." Jaemin kembali menyesap kopi miliknya dengan lebih santai, menikmati tetes demi tetes Americano yang asyik menyapa indra pengecap-nya. "Kalau Uncle Chitta ada, gue masih bisa kompromi. Gue lupa dia lagi pulang kampung ke Thailand bareng sama suaminya."
"Oh? He's gay?"
Si hidung bangir segera mendapat sebuah delikan dari sang primadona. "What's the problem?"
Jeno menggeleng. "Bukan apa-apa. Cuma kaget," ujarnya mengaku. "Dia berhak buat memilih orientasi seksual-nya sendiri."
Pemuda itu mengatakan yang sejujurnya. Dikelilingi oleh beberapa teman yang tertarik dengan sesama jenis kelamin membuat Jeno memiliki pemikiran yang lebih terbuka walau ia berada di pihak netral. Tidak mendukung dan tidak menghakimi.
![](https://img.wattpad.com/cover/213496731-288-k711746.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayward • Nomin ✓
ФанфикIn which a do-gooder tried to be a wayward. © Rayevanth, 2020