06 - Wejangan Paman

18.3K 3K 90
                                    

"Emangnya boleh?"

Na Jaemin. Tujuh tahun. Berdiri di samping kakak laki-laki sang Ibu yang tengah sibuk memandang langit malam sembari mengapit sebatang rokok di antara telunjuk dan jari tengah-nya. Satu detik, dua detik—pria itu kembali menyesap benda berbentuk silinder tersebut tanpa menoleh sedikitpun ke arah keponakannya.

Dongwook tahu.

Bocah ini sedang kabur. Melepaskan diri dari genggaman tangan Ibunya, enggan bercengkerama lebih lama dengan sanak saudara yang ia temui malam hari itu. Seperti biasa, nenek tidak pernah bosan mengadakan pesta ketika bunga kegemarannya mekar di pekarangan. Tidak hanya keluarga, pengusaha pun turut datang memeriahkan acara tersebut dan Jaemin menolak untuk menyukainya.

Pernah suatu ketika, Dongwook bertanya kepada Jaemin mengenai apa yang membuatnya tidak menyukai para pengusaha yang selalu hadir di setiap pesta milik sang nenek—

"Muka dua. Aku tidak suka melihatnya."

—dan hanya dua kalimat tersebut yang ia dapatkan.

Dongwook menyadarinya. Na Jaemin adalah sosok yang cerdas. Tidak mudah bagi orang lain untuk mempengaruhinya sebab pribadinya kuat. Ia selalu membangun benteng yang memisahkan dirinya dengan anak manusia lain dan hal itu sukses membuat dirinya menjadi berbeda.

"Maksudmu apa?" Pria tiga puluh satu tahun itu tersenyum kecil sembari bertanya. Tidak lama kemudian, bibir tebal-nya kembali menyesap sebatang rokok yang belum puas dihisapnya sejak lima menit yang lalu.

"Itu." Jaemin pun menunjuk rokok tersebut dengan telunjuknya. "Emangnya boleh?"

Dongwook tertawa. Mengobrol dengan Na Jaemin membuatnya senang. Bocah ini tahu benar apa yang tengah dibicarakannya dan hal itu membuat ia bangga sebagai sosok seorang paman.

Mau tidak mau, Dongwook menaruh rokok tersebut di atas asbak. Kedua bola mata-nya kemudian tertuju kepada bocah manis yang kini turut mengamatinya. Dongwook pun membungkuk, menyesuaikan tingginya dengan tubuh Jaemin yang jauh lebih mungil darinya.

Pria itu pun menempatkan telunjuknya di atas bibir Jaemin.

"Rokok itu berbahaya. Nggak diperbolehkan," katanya.

"Terus, kenapa Om ngerokok?"

Dongwook tersenyum miris. "Sayangnya, it's addicting." Kemudian, ia meletakkan tangan kanan-nya di atas pundak Jaemin, hendak memberikan suatu wejangan yang hingga saat ini diingat bocah bermarga Na tersebut dengan baik.

"Kalau nanti Nana punya pacar, jangan biarkan dia merokok. Kalau Nana sayang seseorang, jaga seseorang itu dengan baik seperti kamu menjaga diri kamu sendiri."

Ah. Sebuah nasihat yang akan Jaemin ingat di sepanjang hidupnya—

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Sekaligus nasihat yang membuat ia menyesali perbuatannya beberapa saat yang lalu.

Dadanya terasa semakin sesak. Nafasnya tersengal sementara keringat dingin mulai membasahi seragamnya. Batuk yang dialaminya kian menjadi semakin parah, membuatnya harus menekuk lutut dan berjongkok. Di lain sisi, sebatang rokok yang telah dihisapnya sudah ia buang entah kemana.

Satu menit, dua menit, tiga menit.

Jaemin masih merasa sesak. Suara batuk masih terdengar dari mulutnya yang kini sengaja ia tutup agar pengunjung kedai lainnya tidak merasa terganggu—padahal hanya ada ia, si hidung bangir, dan dua pekerja lainnya yang kini memandang tubuh ringkih Jaemin dengan tatapan khawatir,

Namun, sial. Na Jaemin justru kembali mengingat tujuan utama-nya berada di luar lingkungan sekolah dan merasa sangat, sangat bodoh ketika tindakannya dirasa melenceng dari kegiatan berpatroli yang seharusnya ia lakukan.

Ketika ia hendak berdiri dan berjalan kembali menuju kawasan sekolah, sebuah tepukan kecil mendarat di kepalanya yang kini terasa pening.

Jaemin pun mendongak. Bertemu pandang dengan kedua manik obsidian milik si hidung bangir yang tengah menatapnya risih. Berandai-andai mengapa tepukan kecil tersebut terasa sedikit menyakitkan, Jaemin segera menemukan jawabannya ketika Jeno menyodorkan sebotol air minum yang dibelinya beberapa saat yang lalu. Walau wajahnya terlihat tidak menyenangkan, Jeno tetap menyerahkannya kepada Na Jaemin yang kesakitan.

"Nih, minum." Jeno menggoyangkan botol tersebut tepat di hadapan Jaemin. "Oh, atau lo mau jadi headline koran minggu ini yang memuat kasus kebodohan tentang seorang siswa yang mati dengan tololnya di sebuah kedai dekat sekolah?"

Jaemin memandang Jeno dengan sedikit ragu. Suara batuk masih menyertai setiap tindakan kecil yang ia lakukan. Sungguh, lama-lama kondisi ini membuatnya jengkel—persetan dengan si hidung bangir, ia tidak akan pernah mencoba merokok untuk kedua kalinya.

"Apa lihat-lihat?" Jeno mendengus. "Gue nggak ngeracunin lo, kampang."

Mendapat delikan dari pemuda di hadapannya membuat Jaemin menetap di tempat dan berusaha menggapai botol tersebut. Dengan bersusah payah, ia memutar tutupnya dan meminum air di dalamnya, menghayati momen ketika bulir-bulir air mineral jatuh membasahi kerongkongannya.

Dalam waktu lima menit, Jaemin sudah menghabiskan seluruh isi dari botol tersebut dengan Jeno yang masih dengan setia memandanginya tanpa berniat membantu sedikitpun.

Baiklah. Dilarang membenci Jeno. Bukankah si hidung bangir sudah menjelaskan sebelumnya jika ia tidak akan bertanggungjawab atas segala tindakan bodoh yang dilakukan Jaemin demi mendapat kesan 'belangsak' yang diinginkannya?

Sang primadona pun menghela nafas lega. Nafasnya tidak lagi memburu dan terasa jauh lebih baik. Keringat dingin sudah mengering, tidak lagi bercucuran membasahi seragamnya. Sementara itu, suara batuk sudah tidak terdengar di sela setiap pergerakan yang ia lakukan dan ia merasa sangat bersyukur karenanya.

Beberapa saat kemudian, Jaemin mengangkat kedua tungkai jenjang-nya dan berdiri menghadap Jeno sementara si hidung bangir hanya memandangnya datar sembari bertopang dagu.

"Thank you, ya—"

Jeno pun tertawa remeh menanggapinya.

"Cupu banget lo. Makanya, nggak usah sok-sok-an buat jadi belangsak."

Satu menit kemudian, sang primadona dibiarkannya berdiri termangu sendiri dengan beberapa pikiran yang saling mencoba untuk memprovokasi sementara Lee Jeno sudah lama beranjak kaki dari kedai tersebut dan meninggalkan Na Jaemin di sana. []



∘₊✧───tbc───✧₊∘

© Rayevanth, 2020

[author's note]

hai, hai! apa kabs guys? stay safe and healthy, ya, teman-teman, supaya terhindar dari penyakit hehehehe. tapi gila, online class malah bikin makin sibuk. rasanya justru kayak tugas nggak ada kelar-kelarnya astaga :(

btw, love you and thank you for enjoying this story, guys owo.

Wayward • Nomin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang