11

54 31 1
                                    

Lily POV!

Dua hari setelah kabur dari rumah dan mematikan semua sosial media agar benar-benar tidak ada yang mengganggu membuat ku mulai merasa bosan dan rindu pada Ibel serta ketiga sahabatku.

Mengapa aku tidak merindukan orangtuaku? Jawabannya adalah, karena aku sudah terbiasa tanpa mereka! Aku tidak mau jadi egois, namun keadaan yang mengubahku menjadi egois. Aku tidak mau menjadi pembangkang, namun sikap mama yang membuatku menjadi pembangkang.

Wajar jika aku tersulut emosi dan memilih kabur seperti ini, ini semua karena terlalu banyak beban yang memenuhi otakku. Bahkan sakit yang ku derita sudah sangat menyiksaku setiap saat. Malam ini kuputuskan agar tidur tidak terlalu larut karena besok aku akan pergi kesekolah.

"Tuhan, apa aku berhak bahagia? Apa aku berhak untuk hidup menjadi pendamping seseorang kelak? Apa aku berhak menjadi kakak yang selalu ada untuk adiknya, serta sahabat yang selalu setia? Kurasa tidak dengan penyakit yang ku derita! Aku tidak pernah memberi diriku akan hal itu, tetapi aku hanya menginginkan semua orang yang kusayang berada disisi ku untuk terakhir kalinya." Batinku saat ingin terlelap. Dan akhirnya aku pun tertidur.

❇️❇️❇️

06.15 wib

Masih ada waktu untuk ku, aku pun berjalan santai menelusuri koridor sekolah menuju ruang kelas yang sudah sangat kurindukan. Saat aku masuk, dapat kulihat ketiga sahabatku sudah datang dan mereka sedang mengobrol tanpa menyadari kehadiranku.

Aku melempar tasku ke arah meja dan kemudian duduk dikursi sebelah Joan.

"Lily? Yaampun lo kemana aja sih? Mama lo khawatir dan dia nyariin lo terus, apalagi Ibel." Ucap Lala heboh.

"Iya Ly, lo kemana aja sih? Bahkan hp lu gak aktif pas gw telpon, bukan cuma hp. Semua sosmed lo juga." Sambung Eva.

Joan hanya menatap ku dengan tatapan meminta jawaban atas pertanyaan Eva dan Lala.

Aku tidak ada niat untuk menjawab, karena memang mood ku sedang sangat buruk saat ini. Aku memilih untuk memandangi mereka satu persatu dengan tatapan tajam dan aku memilih untuk membaca novel ku daripada harus menjawab pertanyaan yang membuatku tambah pusing itu.

Merasa bahwa diriku sedang sangat kacau, mereka bertiga tidak berani lagi untuk membuka suara. Hingga istirahat bahkan bel pulang berbunyi aku lebih memilih untuk bungkam dan tidak berbicara satu patah kata pun.

Aku memutuskan untuk pulang kerumah, karena aku sangat merindukan Ibel. Sudah terhitung tiga hari aku tidak menjumpai gadis kecil itu, bagaimana kabar dia ya? Saat aku tiba di garasi mobil dan memarkirkan mobilku, kulihat Pak Dirman menatapku seolah ingin bertanya sesuatu. Namun aku menatapnya dengan tajam sambil terus berjalan masuk kedalam rumah.

Saat aku membuka pintu aku tidak menemukan ada orang lain selain bi Narsih yang sedang membersihkan pajangan yang berada di rumahku.  Aku berjalan tanpa menghiraukan pertanyaan dan panggilan dari bi Narsih. Tiba-tiba ada suara yang mengejutkan ku dari arah belakang saat ku ingin menaiki tangga menuju kamar.

"Masih ingat rumah kamu?" Tanya seorang pria dengan suara bariton yang mampu membuat siapapun takut dengan ketegasan suara tersebut.

Ya, dia adalah Papa. Walaupun papa adalah lelaki penyayang, namun dia sangat tegas mengenai hal yang menyangkut dengan anak-anaknya.

Aku diam, dan membalikan badanku menghadap Papa. Dan kulihat ada mama disisi kanannya.

"Masih ingat kamu punya rumah? Masih ingat kamu jalan pulang, Lily?" Tanyanya lagi dengan nada yang terkesan membentak.

"Seharusnya aku yang nanya sama Papa, masih ada rasa khawatir papa dan mama untuk Lily dan Ibel? Bukankah hanya berkas dan pekerjaan yang menjadi prioritas kalian? Masih ingatkah papa dan mama kalau Lily dan Ibel sangat takut dirumah dan masih membutuhkan kasih sayang?" Oh tidak, aku mulai tersulut emosi dan menjawab pertanyaan papa dengan nada yang tinggi. Cap lah aku sebagai anak yang durhaka saat ini, namun aku sudah sangat cape untuk semua hal.

"Lily, papa tidak mengajarkanmu untuk menjadi anak yang berani melawan orangtua!" Jawab papa dengan nada tak jauh lebih tinggi.

"Papa emang gak pernah mengajarkan hal itu pada Lily dan Ibel, bahkan Papa tidak pernah mengajarkan apapun pada kami lebih tepatnya!" Ucapku lalu menaiki tangga dan mengabaikan panggilan papa dan mama.

"Apa ini yang namanya khawatir? Apa ini yang namanya keluarga? Saling meninggalkan dan membentak satu sama lain, disudutkan hanya satu kesalahan karena merasa dirinya merasa benar? Pekerjaan adalah obsesi terbesar bagi kalian Ma, Pa!" Batin ku sembari menangis memasuki kamarku.

Aku pun memilih untuk mandi agar menenangkan pikiranku, dan tertidur. Itulah kebiasaan ku setelah menangis, pasti akan tertidur karena merasa lelah.

Lily POV end!

❇️❇️❇️

"Lily, sini sayang kita makan dulu!" Ajak Julia pada Lily yang baru saja turun dari kamarnya.

Lily memilih untuk hanya menatap ketiga orang yang sedang ada dimeja makan, siapa lagi kalau bukan Julia, Wily dan Ibel. Setelah menatap dengan sorot mata tajam, Lily bergegas mengambil kunci mobil untuk menuju rumah Lala. Ini adalah weekend.

"Ma, Kakak kenapa? Apa dia marah sama Ibel?" Tanya Ibel.

"Enggak sayang, kakak cuma lagi buru-buru aja mungkin." Jawab Julia meyakinkan putri kecilnya itu.

Selanjutnya mereka melanjutkan acara makan dalam keheningan dan hanya ada dentingan sendok dan garpu yang saling bertabrakan.

❇️❇️❇️

"Gila kali ya? Mereka yang salah, malah gw yang dibentak dan gw yang marah-marahin." Oceh Lily pada Lala saat mereka sedang berada didalam kamar Lala.

"Ya lo juga salah, seharusnya lo gak tersulut emosi untuk ngebentak bonyok lo! Lo boleh protes, tapi dengan kepala dingin jangan sama-sama pake emosi." Jawab Lala menenangkan Lily.

"Gw kesel La! Lo bayangin aja, mereka nolak ajakan anak mereka sendiri dengan alasan cape baru pulang. Terus padahal mereka kemaren baru pulang dari luar negeri eh besoknya malah ke luar kota. Gila gak tuh?" Lily sudah sangat emosi memikirkan hal itu.

"Mending lu omongin baik-baik deh Ly, gimanapun juga mereka orang tua Lo. Kalau gak ada mereka, mungkin lo gak akan bisa jadi diri lo yang sekarang! Tinggal menikmati hidup." Ucap Lala.

"Menurut gw, harta yang paling berharga itu cuma Ibel!" Tatapan Lily sangat tajam dan mampu membuat Lala merasa merinding.

"Y-ya terserah lo sih, kalo lo mau gini terus malah kasihan sama Ibel kan?" Jawab Lala berusaha untuk meredamkan emosi sahabatnya itu.

Lily memang gadis yang sangat asik, dia juga ramah, serta melengkapi satu sama lain. Namun jangan salah jika Lily sudah marah, bahkan Joan pun yang notabenenya sangat dingin itu tidak berani untuk berkata apapun.

"Gak tau ah, gw pusing. Pengen tidur!" Ucap Lily, lalu beranjak menuju kasur milik Lala dan tertidur dengan sangat nyaman dikasur itu.

Lala tahu kalau Lily sedang mengalami banyak masalah beberapa hari terakhir, bahkan hanya Lala yang dipercayai Lily untuk mengungkap semuanya. Bukan karena Lily tidak percaya pada Eva dan Joan. Namun dia lebih nyaman bisa terbuka dengan Lala.

Bagaimana kisahnya? Menarik gak?
Kira-kira Lily sama ortunya akan baikan gak ya?
Nantikan kelanjutanya ya...
Jangan lupa untuk Vote 😉

Lily 'another life' (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang