Kejamnya Pengkhianatan

9.1K 356 5
                                    

Rangga ... lelaki yang sudah mengisi hatiku dua tahun belakangan. Kami berada di salah satu fakuktas yang sama.

Begitu banyak janji yang kami genggam. Seperti lulus bersama, kemudian mencari pekerjaan demi meniti hidup yang layak. Lalu, apa lagi? Tentu saja  menikah dan menjadi keluarga yang bahagia.

Hari ini aku memasak di dapur kos. Pikirku, jika memasak, akan lebih hemat dibandingkan membeli makanan di luar. Maklum, kadang jatah bulanan dari orang tua suka telat. Atau memang sudah habis dulu sebelum jatuh tanggal akan mendapat transferan lagi.

Aku memasak cukup banyak, karena setiap hari Rangga datang. Cuma sekedar untuk makan saja. Dia memang lagi ada masalah keuangan. Orang tuanya sedang merasa kesulitan, hingga untuk sementara waktu tidak pernah mendapat jatah bulanan.

Padahal kami berada di semester akhir, yang seharusnya lagi berjuang keras demi gelar sarjana. Belum lagi biaya yang harus ditanggung untuk tugas, penelitian yang biayanya tidak sedikit.

Memaksaku harus memutar otak. Terkadang, aku mengambil job sebagai sales promotion girl event setiap weekend atau hari libur lainnya. Begitu juga dengan Rangga. Kami sama-sama mengerti keadaan. Berjuang.

"Kamu capek, nggak, masak terus, Bi?" tanyanya saat aku mempersiapkan makanan di kamar kosku yang tidak ada kursi tamu.

Maklum, hanya satu petak yang berisi kasur, almari kecil, tv, kipas angin, juga dispenser.

"Ya enggaklah, Ngga. Masa masak aja capek."

Aku tahu, Rangga sering kali merasa tidak enak hati. Dia selalu merasa bahwa hidupnya hanya menumpang padaku saja. Namun, aku selalu meredam rasa bersalah tersebut.

Pernah suatu ketika, kami benar-benar tidak ada uang. Sedangkan aku dan dia sama-sama belum makan. Ia gelagapan mencari sesuatu yang berharga di sakunya.

Satu lembar uang dua puluh ribu ia temukan. Berbinarlah wajahnya. Lalu buru-buru pergi ke salah satu warung nasi terdekat.

Tak lama kemudian, ia kembali dengan satu bungkus nasi yang langsung diberikannya padaku.

"Kamu mana?" tanyaku saat itu, merasa bingung karena cuma ada satu bungkus nasi saja.

"Aku nggak laper, Bianca. Kamu aja," jawabnya santai dengan senyum tipis. Tampan.

Aku menyuap satu per satu makanan itu. Lahap. Memang lapar. Rangga hanya melihatiku, lalu meneguk satu gelas air putih dingin dari dispenser.

"Nasinya nggak enak!" keluhku. Lalu menggeser bungkus nasi itu menjauh.

"Masa? Dari tadi kamu makan baru bilang nggak enak," herannya.

"Tapi nggak enak. Aku nggak mau!"

"Bi ... jangan terlalu dirasa-rasainlah, makan aja. Bersukur hari ini bisa makan," ucapnya mulai kesal padaku.

"Kamu cobain aja sendiri! Orang enggak enak!"

Wajahnya semakin kesal. Lalu menggeser bungkus nasi yang tinggal setengah itu. Kemudian menyuap satu sendok.

"Enak, kok!" katanya. Menyuap lagi beberapa kali.

"Ini enak, Bi, enak banget malah!"

Aku tersenyum melihatnya lahap menyuap makanan hingga habis.

"Kamu juga laper, kan, Ngga? Kita laper bareng, jadi kenyang juga harus bareng," ucapku tersenyum.

Ia bergeming sesaat, lalu senyumnya mengembang. Direngkuhnya tubuhku dalam peluknya. Kemudian kecupan singkat mendarat di kening ini. Sebahagia itu.

Move On! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang