Bab 6

5K 311 4
                                    

Menutup wajah dengan kedua tangan, lalu isakan cukup keras tak mampu lagi kutahan. Ucapan Pak Reno membuatku sadar, bahwa semua memang butuh luapan.

Ya ... aku baru ingat, semua yang kualami tak pernah membaginya dengan siapa pun. Aku hanya ... malu.

Aku memang butuh bahu ternyaman, tapi alangkah tidak tahu dirinya jika menerima tawaran dari sang bos di hadapan.

"Kalau dada kamu masih sesak, itu artinya kamu belum puas, Bianca. Habiskan saja sampai kamu merasa lega," ucap Pak Reno menenangkan.

"Saya tahu, akar dari masalahmu adalah lelaki yang siang tadi mengejarmu. Saya nggak maksa, cuma mau bilang, kapan pun siap menerima curahanmu."

Aku mengusap habis air mata yang membasahi pipi. Menatapnya dalam, sorot mata itu meneduhkan.

"Kenapa Pak Reno baik banget?" tanyaku dengan napas yang belum teratur.

Dia tersenyum. "Lelaki mana pun, enggak akan tega melihat wanita menangis di sepanjang jalan, bahkan sampai berkali-kali. Kalau pun ada yang tega, itu berarti hatinya enggak peka," jelasnya.

Terlihat Pak Reno mengulurkan kain sama seperti saat di bus.

"Ini pakai. Tapi jangan dibalikin, apalagi lengkap sama ingusnya. Saya enggak mau dapet ingus mulu!" ledeknya. Tanpa sadar aku tertawa dalam derai tangis. Dasar!

"Pak Reno, ih!"

Sesaat, kami kembali menikmati keindahan corak jingga yang tidak lama lagi akan meninggalkan angkasa. Begitu pun udara, semilir angin sejuk mulai terasa.

Namun, aku terselamatkan oleh hangatnya jaket milik Pak Reno. Berniat ku kembalikan beberapa kali, tetapi lelaki itu selalu menolak.

Aku masih penasaran, kenapa Pak Reno sangat baik dan perhatian? Sampai aku demam pun, dia bisa tahu.

Sebenarnya siapa dia? Apa dia jelmaan ayah peri yang turun dari kayangan? Ah, Bi ... macam mana pula!

Mulai gelap. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Bisa aku pastikan, ini adalah perjalanan yang paling memakan banyak waktu.

Entah ... tetapi tanpa sadar, beban yang sejak kemarin sangat berat kupikul, kini terasa ringan. Seakan telah terhempas dan tertinggal begitu saja di tempat itu, tempat pembuangan keluh kesah kata Pak Reno. Dia memang lucu. Tanpa dibuat-buat, mampu menghibur dengan senaluriah itu.

Di dalam mobil, sesekali terdengar gumaman darinya. Mengikuti nada lagu yang tengah diputar. Mungkin suaranya bagus, hanya saja terdengar sangat pelan.

Padahal, seharusnya bernyanyi saja, justru akan lebih menghiburku. Asal bukan lagu galau pastinya.

Not sure if you know this
But when we first met
I got so nervous I couldn't speak
In that very moment
I found the one and
My life had found its missing piece

So as long as I live I love you
Will have and hold you
You look so beautiful in white
And from now to my very last breath

This day I'll cherish
You look so beautiful in white
Tonight ....

Aku yakin, penampilanku malam ini sangat kacau. Bayangkan sendiri, sejak siang aku menangis, tertidur, lalu kembali menangis. Bagaimana buruk rupanya wajahku. Bayangkan saja!

Namun, aku mendadak auto merasa cantik, saat Pak Reno menyanyikan lagu tersebut. Ya, aku sedang memakai dress putih tulang, seperti lirik lagu tersebut.

Tanpa terasa, aku kesulitan menahan senyum tak jelas. Padahal, dia hanya bernyayi sesuai lagu yang berputar secara acak pastinya. Biarkan aku menikmati ini. Jangan ada yang ikut campur. Apalagi mengatakan kalau aku kepedean. Jangan!

Move On! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang