Bab 5

5K 327 7
                                    

Kini kami berhadapan. Serupa dua pegulat yang saling bersitatap dengan sorot yang sengit. Tidak akan aku biarkan, wanita ini melihat air mataku. Aku adalah pemenang, jadi tidak selemah itu menangis di hadapan sang musuh.

Mengingat jiwa seorang pemenang, sisi hitamku menjadi kian melemah. Bergantian dengan sisi bidadariku yang meletup berbisik, bahwa balas dendamlah dengan cara yang elegan.

Seperti memperbaiki diri, pemperbaiki karakter, bekerja keras. Tunjukan bahwa aku bisa lebih cantik, lebih baik, dan kalau bisa jadi tajir.

"Mbak Bian ...," panggilnya untuk yang kedua kali. Aku tetap bergeming, dengan terus menatapnya tanpa berkedip.

"Aku mau ngomongin sesuatu," ucapnya. Semakin lama, wajah itu terlihat semakin pucat.

"Masih punya nyali rupanya? Nih, ngomong aja sama tangan gue!" ketusku, dengan telapak tangan tepat di depan wajahnya.

Kemudian aku berbalik, kembali membereskan barang-barang yang hampir semua telah tertata rapi.

"Mbak ... aku bener-bener minta maaf ...," ucapnya lagi.

Dada dan kepala mulai memanas. Aku berbalik ingin melakukan sesuatu pada wanita tersebut.

Namun, terlihat Pak Reno turun dari mobil. Aku tak ingin ia tahu permasalahanku. Dia hanya orang lain, tak perlu mengetahui kisah kelamku. Dia mulai berjalan menghampiri kami.

Aku mulai mendekati Gea, lalu berbisik, "seribu kali pun maaf dari lo, nggak akan ada artinya. Ngerti?"

Aku mencengkeram lengannya kuat. "Pergi dari sini, sebelum ada setan yang merasuki gue, lalu ada wanita perebut pacar orang yang terbunuh."

Butiran keringat mulai membasahi dahinya. Kemudian beringsut pelan mundur saat aku melepaskan cengkeraman itu.

Sambil memegangi lengannya, iya berjalan berbalik. Terlihat terkejut dan hampir bertabrakan dengan Pak Reno, sesaat saling tatap, kemudian berlalu begitu saja.

"Sudah selesai, Bianca?" tanya lelaki tampan itu menghampiri.

"Sudah, Pak," jawabku, sambil mengatur napas, demi menetralisir amarah yang membuncah.

Seketika Pak Reno terlihat menyapu pandangan, terutama pada serpihan foto yang tersebar di mana-mana.

"Yang mana aja? Biar saya bantu angkut ke mobil," tawarnya, memegangi salah satu kardus yang sudah tertata. Masih memperhatikan yang bercecer.

"Biar saya saja, Pak."

Tanpa menghiraukan penolakanku, ia membopong kardus dan menenteng koper berisi semua baju.

"Lho, Pak." Praktis aku mengekorinya dari belakang setelah mengunci pintu.

Aku hanya melihati Pak Reno memasukkan barang-barang ke bagasi dengan rasa tidak enak hati. Semakin lama, hanya semakin merepotkannya saja.

"Ada lagi yang mau dibawa?" tanyanya. Aku menggeleng pelan.

Kemudian ia terlihat masuk ke dalam mobil. Lagi-lagi, aku hanya mengikutinya berjalan menuju pintu mobil di sisi yang lain.

Sebuah sepeda motor berhenti tepat di depanku. Aku sangat mengenalinya. Terlebih saat ia membuka helm. Membuatku menunda untuk membuka pintu mobil.

Rangga pecundang ....

"Bi ... aku tahu kamu pasti balik ke sini. Ikut aku, Bi, aku mau ngomong," ucapnya tergesa-gesa. Sementara aku hanya menatapnya lekat, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.

"Ayo, jalan, Pak." Tanpa sadar, aku memberi perintah pada bos sendiri.

Sedangkan Rangga mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan percaya dirinya. Melihat wajahnya pun aku sudah tak sudi.

Move On! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang