BAB 11

4.5K 335 8
                                    

Horor. Adegan tersebut adalah suatu hal yang benar-benar menegangkan. Hanya takut, jika ia merasakan debaran jantung ini, saat aku belum sempat melepaskan pelukan.

Kesalahan teknis listrik yang menyebalkan. Entah apa yang dipikirkan Pak Reno barusan. Masa bodohlah! Yang penting aku sudah minta maaf.

Anehnya, dia hanya bungkam. Tak bicara apa pun, atau sekedar menyahuti ucapan maafku. Bagaimana ini? Jangan-jangan dia marah.

Kami saling bungkam, meski berjalan beriringan. Melewati waktu dengan hal semacam ini sungguh sangat menyiksa. Lebih baik mendengar dia cerewet, dibandingkan tanpa suara seperti ini. Membuatku semakin tak enak hati.

Kami berada di pelataran parkir. Aku berdiri, lalu membuka gawai, berniat memesan ojek online.

"Bianca," panggil Pak Reno. Kini ia berdiri tepat di sisi mobil.

"Iya, Pak."

"Kenapa di situ? Ayo, naik!" perintahnya. Terdengar nada suaranya lain dari biasanya. Sedikit lebih tinggi. Membuatku semakin takut.

Aku menurutinya saja. Dibandingkan dia akan semakin lebih marah lagi, aku bisa apa?

Kami kembali saling bungkam di dalam. Entah apa yang harus aku katakan. Ya Tuhan ...

***

Mencari bus antar kota tujuan, tapi aku tak menemukannya. Beberapa bus sudah pergi karena penumpang yang ramai di saat weekend seperti ini.

Aku gelagapan. Bertanya pada karyawan terminal, tetapi tak menerima jawaban yang pasti. Bisa jadi ada bus datang lagi, bisa jadi tidak sama sekali.

Tanpaku sadari, ada rasa kecewa yang menguasai hati. Rindu Ibu ....

Duduk di kursi antrean, terlihat Pak Reno menghampiri. Aku kira dia sudah pergi sejak aku turun dari mobil.

"Kenapa?" tanyanya, lalu duduk tepat di sisi.

"Busnya udah jalan. Saya ketinggalan," ucapku pelan. Merasa sedih mengingat sudah lama tak pulang.

"Enggak ada lagi?"

Aku menggeleng lemas. Lalu menghela napas. Sadar tak perlu seresah ini, aku bisa kembali merencanakan pulang minggu depan.

"Mau gimana lagi? Tunda dulu, deh, pulang kampungnya."

"Kenapa nggak sekarang aja?"

"Kan, enggak ada bus, Pak Reno," ucapku sedikit kesal.

Lagi, Pak Reno memaksa mengantarkanku pulang. Tentu saja aku sudah menolak. Namun, kali ini ia benar-benar tidak menerima penolakan dalam bentuk apa pun.

Tanpa senyum, hanya raut datar yang membuatku takut.

Bagaimana aku bisa menghindarinya, jika sikapnya saja semakin membuat jarak kami semakin dekat?

***

Hujan. Kami telah sampai di kampungku. Jalan yang berbatu, sepertinya sedikit menyulitkan Pak Reno saat mengemudi. Maklum saja, masih dalam area pedesaan.

Mobil berhenti tepat di depan rumah. Jika kami memaksa berjalan, sudah pasti akan basah kuyup. Karena hujan cukup deras, belum lagi pelataran depan rumah cukup luas.

Pak Reno mengambil payung yang telah tersimpan di dalam mobil. Lalu keluar berjalan membuka pintu di sisiku. Aku tak percaya ini. Sungguh.

Kami berdiri di bawah payung yang sama. Netra kami bertemu. Dinginnya guyuran hujan melengkapi suasana menjadi semakin tak menentu.

Kami berjalan beriringan tanpa jarak, demi menghindari derasnya air dari langit.

"Bian ...!" teriak ibu dari dalam.

Move On! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang