bab 16b

6.1K 298 17
                                    

Aku terbangun. Tak mampu melewati malam ini begitu saja, tanpa menikmati keindahan hamparan kelip bintang yang menghiasi angkasa.

Membuka pintu penghubung balkon. Aku disambut oleh semilir udara yang menerbangkan setiap helaian rambut. Kelip pemandangan kota luas di bawah sana, tak kalah indahnya dengan kilauan bintang yang memanjakan mata.

Biarkan aku menikmati ini. Sama halnya aku menikmati rasa yang tengah melanda hati.

"Malam ini kamu di sini. Saya enggak mau kamu kenapa-kenapa sendiri di kos," ucapnya, saat kami baru saja sampai di apartemen.

Bukannya terlalu percaya diri, tapi aku mengerti bahwa sorot mata itu penuh dengan kekhawatiran. Dan aku menyukainya. Itu cukup menegaskan, ada rasa peduli yang tertanam di hatinya.

Entahlah ... sepertinya aku tak punya pilihan lain, selain jatuh cinta.

"Terima kasih, untuk ke sekian kali sudah menolongku, Pak," jawabku. Mengingat sejak awal aku belum mengucapkan apa pun. Hanya sibuk membayangkan prosesi napas buatan.

Dia tersenyum, lalu memberikan bajunya untukku.

"Saya mau ganti baju, Pak."

"Iya, memang harus ganti."

"Kenapa Pak Reno masih di sini?" protesku.

Seketika ia tertawa. "Oh, iya, lupa."

Tanpaku sadari, senyum ini mengembang kala memutar kembali bagaimana sikapnya, yang terkadang menjadi lelucon yang begitu naluriah.

"Kamu bisa kedinginan kalau di sini terus." Terdengar suara yang membuatku menoleh. Pak Reno.

"Saya suka di sini," ucapku menatapnya, yang kini berdiri tepat di sisiku.

"Kalau gitu, tinggal saja di sini selamanya."

Aku mengernyit. "Ya nggak mungkin, Pak."

"Kenapa?" tanyanya.

"Ya ... ini, kan, punya Pak Reno. Masa iya saya mau di sini terus?"

"Ya, enggak apa-apa. Asal biaya sewanya lancar," godanya, diiringi senyum yang melengkung di garis bibirnya.

"Pak Reno, mah. Ternyata bayar!"

Terdengar tawa pelan darinya. Manis sekali.

"Pak ...," panggilku.

"Iya."

"Saya tahu, di depan orang yang dituju, Pak Reno berusaha keras untuk membuktikan tentang hubungan kita. Tapi di sisi lain, kita enggak pernah diskusi soal apa saja yang disetujui, atau enggak setuju."

"Sesuatu apa yang membuatmu nggak nyaman?" tanyanya. Kini dia menatapku lekat.

"Ya ... seperti di depan Pak Drey sore tadi."

"Iya, boleh dikatakan saya memang lancang. Saya minta maaf," ucapnya lembut.

"Dan, ada satu hal lagi, yang tanpa sadar menjadi satu beban bagiku, Pak."

"Apa itu?" tanyanya antusias.

"Tentang Laudya. Sejak awal, saya tahu dia enggak suka saya. Tapi dia cukup profesional, enggak menyangkut-pautkan antara masalah pribadi dan pekerjaan. Pak Reno tahu, sejak Laudya tahu saya tinggal di sini, sikapnya berubah total. Tatapan itu seolah sedang menghakimiku karena suatu alasan yang kuat," jelasku.

Kembali mengingat, bagaimana wanita itu sudah menganggapku rendah. Meski ia tidak salah, tapi aku juga berhak mendapat keadilan.

Lidah ini sesaat mendadak kelu. Aku tidak bisa menerima hukuman, dengan tanpa melakukan kesalahan. Aku tercekat, kala mengingat perkataan Laudya yang kudengar pagi itu. Dia bilang, aku sudah membuat Pak Reno puas.

Move On! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang