BAB 12

4.9K 415 20
                                    

Tatapan kami masih beradu, tubuh ini masih tak mampu bergerak. Serupa membeku, mematung untuk sesaat.

Terasa tangan Pak Reno menyentuh daguku, mencubit halus. Bisa aku pastikan, degup jantung tak lagi terselamatkan.

Entah kenapa, aku merasa jarak antara wajah kami semakin dekat, deru napasnya semakin terasa. Seketika rasa takut kian membuncah.

"Pak ...." Aku mencoba memberanikan diri.

Tidak menjawab, hanya masih menatapku lekat, dengan jarak yang tak seberapa itu.

"Bisa mundur sedikit?"

Cubitan pelan pada dagu seketika terlepas. Pak Reno menarik wajahnya menjauh dariku. Kini ia terlihat berdiri sempurna, lalu duduk tepat di sampingku. Tanpa mengatakan apa pun.

Kami saling bungkam. Sementara aku masih mengatur napas. Adrenalin begitu terasa terpacu, benar-benar menyeramkan.

"Hapus fotonya." Pak Reno bersuara, meski tak menoleh.

"Buat kenang-kenangan, Pak."

"Hapus aja. Nanti saya kasih foto yang paling bagus."

"Ini juga bagus, kok," tolakku.

"Hapus sekarang. Kalo enggak--"

"Kalo enggak, kenapa?" Aku langsung menimpali.

"Kalo enggak, terpaksa saya cium kamu."

***

Dinginnya embun pagi menyambut hari. Membuka mata, dan satu-satunya yang berkelebat di ingatan adalah, saat-saat aku dan Pak Reno berada di jarak hanya beberapa inci saja.

Dia menginap di sini. Aku tak berani bertanya, salah-salah akan seperti kemarin yang dianggap akan mengusirnya.

Aku beranjak ke dapur, untuk membantu Ibu menyiapkan makanan untuk sarapan. Sekaligus membuktikan, supaya Pak Reno tahu kalau aku bisa memasak. Tapi ... biar apa, ya?

"Eh, udah bangun, Neng?" sapa Ibu. Aku hanya memeluk, lalu mencium pipi wanita yang aku cintai tersebut.

Maklum, menjadi anak semata wayang, membuatku sering kali bermanja dengan Ibu.

"Ayok, cepet bantuin. Nanti pacar kamu yang ganteng keburu bangun."

"Bu ... bukan pacar, Ibu!"

"Iya ... iya. Calon pacar."

Aku berdecak kesal. Sejak kemarin hanya mendapat ledekan darinya saja.

Aku mulai memotong bahan yang telah disiapkan untuk memasak. Baru kuingat, sejak pindah, baru kali ini kembali berkutat dengan bahan makanan, juga alat memasak.

Saat itu, setiap hari harus memasak demi berhemat. Demi menyambung hidup. Dan demi ... ah, sudahlah!

Shit! Aku benci.

"Cabe mana, Bu? Aku mau nyambel."

"Di kulkas. Pagi-pagi nyambel, entar mules, lho."

"Pak Reno suka sambel, Bu," ucapku seraya mengambil cabai

"Cie ... tahu kesukaan Nak Reno, cie ...!"

"Ya ampun, Ibu ... apaan, dah?" kesalku pada Ibu yang cukup mulenial itu.

Suara berdehem terdengar. Membuatku dan Ibu seketika menoleh ke sumber suara. Terlihat Pak Reno tengah berdiri di dekat dapur. Astaga ... malulah aku, kalau dia mendengar gurauan Ibu tadi.

"Udah bangun, Nak Reno?" sapa Ibu. Yang langsung mendapatkan jawaban dari Pak Reno.

"Cabe buat tumis kangkungnya sedikit apa banyak, Bu?" tanyaku mengalihkan.

Move On! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang