bab 13

4.5K 408 31
                                    

Menata semua baju yang ada di almari, lalu menyapu pandangan seluruh sudut kamar ini. Kamar yang nyaman. Namun, aku tak bisa tetap berada di sini. Aku harus pergi.

Tak ada lagi suara yang aku dengar sejak masuk ke kamar. Mungkin Laudya sudah pergi. Tinggallah aku dan Pak Reno di sini. Hanya terhalang oleh tembok pembatas kamar kami.

Rasa sakit tak juga mereda, ucapan Laudya terus saja terngiang di telinga. Aku tak serendah itu. Sekuat tenaga telah menjaga harga diri, tetapi justru pandangan mata manusia lain tak dapat terkendali.

Baiklah, aku menganggap itu adalah hal wajar. Bukan salah Laudya. Bukan.

Menatap diri ini di pantulan cermin. Ada yang lain, aku merasa telah sembuh dari luka terdalam. Namun, justru mendapat rasa yang mungkin lebih sulit dijelaskan.

Dengan langkah yang berat, aku membuka pintu kamar. Ada seseorang, Pak Reno terlihat duduk di sofa depan TV yang tidak menyala. Hanya duduk menatapku dengan ransel yang kubawa.

Tanpaku perintahkan, nyeri dalam dada memaksa pelupuk mata mengucurkan embun. Hingga tatapan ini penuh dengan kabut. Lalu, aku segera menyekanya sebelum jatuh membasahi pipi.

"Mau ke mana?" tanya Pak Reno.

"Sa-saya ... mau pindah ke kos," jawabku menunduk.

"Kos lama?"

Aku terdiam. Memang masih belum terpikir akan ke mana. Yang jelas, harus pergi dari sini sekarang juga.

"Kalau belum tahu mau ke mana, saya nggak izinkan kamu pergi." Ucapannya seperti tahu apa yang aku pikirkan. Dan memang benar.

Pak Reno berdiri, lalu berjalan pelan mendekatiku. Aku pikir, dia masih merasa lemas. Wajahnya masih terlihat pucat.

"Pak Reno masih sakit, kenapa bangun?" tanyaku mengalihkan.

"Laudya ngomong sesuatu?" tanyanya balik, tanpa menjawab pertanyaanku.

"Enggak."

"Bilang sama saya."

Aku menggeleng. "Enggak, Pak. Terima masih selalu menolong saya. Sekarang, saya harus pergi."

"Saya sudah bilang, sebelum kamu tahu mau ke mana, saya nggak akan izinkan kamu pergi."

"Pak Reno atasan saya di kantor, tapi kalau di sini bukan, kan?"

Netra itu menatapku. Aku yakin dia kesal, dan mungkin menganggapku tidak tahu diri, tanpa tahu berterima kasih. Ya, memang terdengar demikian.

"Kamu marah, Bianca." Bukan pertanyaan yang kudengar, dia hanya menyimpulkan. Mungkin ia mampu melihat dari mataku yang tak mungkin sanggup berkilah.

"Kunci ada sama saya, kamu nggak bisa keluar," ucapnya seraya menunjukkan kunci yang ada di tangan.

Pak Reno berbalik, lalu berjalan pelan menjauhiku, membuka pintu kamarnya, kemudian hilang di balik pintu yang ia tutup kembali.

***

Hari ini Pak Reno tidak masuk kantor, begitu pun denganku. Hanya diam merenungi waktu yang tengah menenggelamkanku dalam ruang yang ... entah.

Sampai sekarang, Pak Reno belum keluar kamar. Harusnya dia makan siang, lalu minum obat dari dokter yang datang tadi pagi.

Aku menunggunya, tetapi tak ada tanda-tanda dia akan membuka pintu. Dengan pergolakan batin yang cukup panjang, aku mendekati meja makan. Menyiapkan makanan, lalu menata di atas nampan. Dia harus makan dan minum obat.

Meski ragu, aku mengetuk pintunya pelan.

"Maaf, Pak. Ini makan siangnya," ucapku.

Tak menunggu lama. Suara membuka kunci terdengar, diikuti oleh derit pintu yang terbuka.

Terlihat wajah yang masih pucat itu menampilkan seulas senyum. Entah, tetapi menurutku itu lebih baik, dibandingkan dengan sikapnya saat melarangku pergi.

"Ini makannya, Pak," ucapku mengulurkan tangan yang membawa nampan itu.

Pak Reno hanya menatap makanan di atas nampan, lalu berbalik berjalan begitu saja. Tanpa bicara, duduk di tepi pembaringan.

"Pak Reno harus makan, obatnya juga harus di minum," kesalku, karena dia tak menerimanya.

"Iya ... emang siapa yang bilang nggak mau makan? Kalau mau nganter makanan, sini masuk! Jangan setengah-setengah."

Aku mengernyit, apa bedanya dia langsung menerima, dengan aku yang mengantar masuk? Jarak hanya beberapa meter saja, tetapi seperti malas hanya untuk membawa nampan masuk.

"Duduk," perintahnya, seraya menunjuk kursi yang ada tepat di samping ranjang. Aku hanya menuruti.

"Kamu bilang, saya terlalu baik, kamu jadi enggak enak hati, kan?" Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan.

"Kamu bisa menebus semua yang kamu anggap utang budi itu, dengan melakukan satu hal untuk saya," ucapnya mantap.

"Apa itu?"

"Kamu harus mengurus saya dengan baik, sampai saya sembuh. Dari makan, menyiapkan obat, dan semua yang saya mau. Setelah saya sembuh, kamu boleh pindah, nanti kita cari tempat tinggal untuk kamu."

Aku berpikir untuk sesaat. Saya harus mengurusnya?

"Semua yang Pak Reno mau, maksudnya?" tanyaku penuh dengan selidik.

"Iya, gimana?"

"Tapi Pak Reno keliatan udah mendingan, kok,"

"Iya, tapi belum sembuh total. Saya mintanya sampai sembuh aja."

Sedikit aneh, tapi aku menurutinya saja. Lagian, sampai dia sembuh mungkin tidak akan lama. Bisa nanti malam, bisa besok.

"Ya udah kalo gitu makan dulu," ucapku memberikan nampan.

"Suapin."

Hah?

Move On! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang