DALILA
Bukan main ... potongan luarnya saja yang keren—gayanya tadi sok berani banget. Giliran filmnya mulai malah tidur. Merdeka kira aku tidak tahu kalau dia takut lihat hantu di film. Aku juga takut, tapi aku coba untuk biasa aja. Toh yang di film hanya hantu bohongan. Tidak ada hantu yang bisa main film. Mau di-casting bagaimana, badannya saja tidak kelihatan.
"Kamu takut hantu, ya? Ngaku!" godaku. Merdeka menolak habis-habisan. Dia bilang dia hanya kelelahan dan mengantuk di saat yang bersamaan. Aku manggut-manggut saja, lagi pula dia tidak akan mengaku.
Padahal aku sih tidak peduli dia tidak berani nonton film horror atau tidak, semuanya tidak mengubah pendapatku tentang dia. Malahan aku makin gemas padanya, dia lucu sekali. Matanya merem melek seperti sedang mengintip apa yang terjadi di film itu. Bahkan saat itu aku iseng mengerjainya. Saat matanya terpejam, aku mencolek lehernya menggunakan ujung pulpen buluku. Reaksinya cepat sekali. Matanya terbuka lebar sambil menjaga jarak dariku, kalau saja di dalam bioskop hanya ada kita berdua sudah pasti aku akan tertawa keras.
Saat ini aku dan dia akan pulang ke rumah. Aku memilih untuk naik busway untuk menghemat uang, sementara Merdeka mengajakku untuk pulang sama-sama naik taksi. Aku menolaknya dengan halus. Kali ini dia tidak membahas siapa yang akan membayar jika kita naik taksi sama-sama, dia takut aku tersinggung jika dia berkata dia yang akan bayar. Dia berkata sebentar lagi akan hujan, alasanku juga kalau aku berangkat sekarang aku tidak akan kena hujan. Dia kekeh tidak mau membiarkanku pulang sendiri.
"Kalau gitu aku juga ikut kamu," katanya.
Yaudah, bagus deh.
Kami sama-sama berjalan kaki menuju halte. Sebelumnya kita singgah dulu membeli minuman dingin. Masing-masing dapat satu. Kami tidak beli satu untuk berdua, karena aku dan Merdeka tidak seromantis itu. Tiba-tiba hujan turun akibat terlalu lama membeli minuman. Padahal prediksiku jika kami tidak singgah dulu, kami sudah berada di dalam busway.
Aku dan Merdeka menepi di depan sebuah mini market. Aku menyimpan barang-barang pentingku ke bagian dalam ransel, terutama ponselku agar tidak basah. Aku baru ingat, ternyata aku membawa jaket di dalam ranselku. Aku melirik Merdeka sekilas—dia juga sedang mengamankan isi ranselnya. Merdeka juga membawa jaketnya. Terlintas ide briliant di otakku, ku sembunyikan jaket hitamku itu ke bagian paling dalam ransel agar tak terlihat.
"Kira-kira hujannya bakalan lama nggak sih? Makin deras," kataku membuka pembicaraan. Sengaja kuusap-usap tanganku, seolah aku sedang kedinginan. Tetapi dia tidak peka. Pria itu malah memakai jaketnya tanpa menawariku.
"Dingin banget ya," kataku lagi memberi kode padanya. Dia ini anak pintar, biasa mendapat ranking bagus di kelasnya. Kalau tidak peka pada rumus cinta seperti ini berarti nilainya hasil KKN.
Aku sampai pura-pura batuk agar Merdeka melihat ke arahku. Berhasil. Akhirnya Merdeka melirik ke arahku.
"Kalau kedinginan pakai aja jaket yang kamu bawa. Mau aku pinjamin jaketku tapi aku juga kedinginan."
Aku mendengkus sebal. "Kamu nggak romantis banget ya," komentarku. Dia malah mengangguk hal itu.
"Kan udah aku bilang. Aku bukan tipe cowok yang romantis. Mohon pengertiannya," ucap Merdeka. Bahkan kedua telapak tangannya disatukan seolah-olah sedang memohon.
Pffft! Aku mau tertawa. Lantas aku mengeluarkan jaket yang kusembunyikan tadi. Merdeka membantu memegang ranselku sementara aku memakai jaket itu.
"Rese. Kamu nggak gampang dikibulin," desisku padanya.
Tidak masalah dia tidak meminjamkan jaketnya padaku, yang penting dia menemaniku pulang hingga ke depan rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Merdeka Tetap Merdeka
Teen FictionMerdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik lagi. Walaupun namanya Merdeka, keseharian Merdeka tidak semerdeka namanya. Di sekolah, Merdeka menjadi penyalur surat cinta untuk adik pertam...