DALILA
"Kenapa lebih banyak fotonya Merdeka?!"
Michiko merajuk di ruang ekstrakurikuler kami. Aku hanya diam, lari dari masalah ini. Kubiarkan saja Rusli yang menjadi tumbal, toh dia yang jadi tukang foto.
Aku pun ikutan melirik hasil jepretan Rusli yang tengah kami filter di komputer. Foto tim basket tengah menerima pengarahan coach Eli, mereka sedang melakukan pemanasan dipimpin oleh tetanggaku, Merdeka dan Bara sedang melakukan toss, dan beberapa foto individu.
Foto saat sedang latihan saja sangat bagus, ganteng-ganteng sih makanya enak dilihat, tidak kebayang saat pertandingan nanti. Sepertinya aku harus—HARUS menonton dari dekat.
"Simpan semuanya untuk dokumentasi," kataku pada Rusli. Beberapa foto sudah kupilih, sisanya tidak boleh dibuang. Siapa tahu akan dibutuhkan.
"Yang ini kirim ke WhatsApp-ku ya," pinta Michiko yang membuatku bergidik ngeri. Michiko menunjuk foto super jeleknya Bara. Aku bosan setiap hari melihat dia di kompleks kami.
Setelah rapat singkat di jam istirahat akhirnya aku sudah boleh balik ke kelas. Sedih, aku melewatkan jam makan siang. Saat aku sedang berjalan di tangga, aku mendengar bunyi 'tak tak ... tak tak ...' bunyi sepatu di tangga. Rasanya seperti ada seseorang yang mendorongku agar lebih cepat melangkah. Aku mempercepat langkah kakiku di tangga hingga akhirnya aku tiba di depan kelasnya Bara. Aku hanya ingin memberitahu dia perihal foto yang diambil kemarin. Aku juga mau bilang ke Bara kalau Michiko meminta fotonya untuk dikirim ke WhatsApp.
Kulihat Bara sedang duduk di mejanya, segera aku masuk melewati pintu kelas mereka tapi jantungku mencelos kaget. Lantai kelasnya sangat licin! Jantungku oh jantungku, batinku sembari mengelus pelan dada. Tahukan gimana rasanya hampir kepeleset? Jantung kalian seperti akan jatuh hanya sepersekian detik, setelah itu ada rasa lega karena tidak jadi jatuh.
Huft.
Aku tidak sampai jatuh di lantai, aku juga tidak sedang digendong oleh seorang pangeran seperti di film-film. Kedua kakiku masih napak di tehel, hanya saja ada seseorang yang memegangi lengan kain seragamku.
Merdeka. Jadi dia yang dari tadi berada di belakangku, nempel-nempel, membuatku tidak nyaman sampai harus melangkah super cepat dan panjang. Tetapi, thanks.
"Sama-sama," katanya.
Oh no! no! noooooooo!!!! Aku menyuarakan isi pikiranku. Dia melewatiku begitu saja. Aku pun mengikutinya, kali ini melangkah lebih hati-hati. Heran, lantai mereka licin sekali. Sepertinya ada yang baru saja menumpahkan air di sana.
Aku menghampiri Bara yang bergabung dengan Kevin. Mereka sedang mabar alias main bareng salah satu game online tembak tembakan di smartphone. Aku juga bermain game itu, hanya saja tidak ku teruskan. Aku berhenti bermain game itu sebelum orang-oranganku yang di sana mendapatkan celananya.
"Baraaaaa," aku mengganggu kegiatannya. Dia marah, dia menyuruhku untuk segera balik ke kelasku. Tapi aku belum menyerah. "Nanti malam temenin aku belanja dong. Foto kamu yang kemarin gantengggg bangettt," harus dipuji dulu agar dia mau menganggukkan kepalanya.
Bara pun menganggukkan kepalanya. Bagooss.
Sebelum balik ada yang ingin ku bilang padanya. Aku hampir lupa akan hal ini. "Oh iya, Michiko minta Rusli buat kirim foto kamu lewat japri," kataku. Bara langsung tertembak. Dia tewas di game itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Merdeka Tetap Merdeka
Ficțiune adolescențiMerdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik lagi. Walaupun namanya Merdeka, keseharian Merdeka tidak semerdeka namanya. Di sekolah, Merdeka menjadi penyalur surat cinta untuk adik pertam...