Chapter 24

20.4K 2.7K 213
                                    

DALILA

Tidak ada yang namanya acara suap-suapan. Aku tidak iri pada mereka yang duduk di meja sebelah—yang ku irikan adalah es krim yang mereka makan sisa satu porsi. Lihat mereka yang begitu mesra malah terlihat cringe. Datang bersama Merdeka sepertinya pilihan yang tepat. Tindakannya saat mencoba mendekatiku tidak berlebihan. Aku suka yang seperti ini, aku juga suka yang romantis tapi jangan berlebihan.

"Anwar, Ikram, Fais, Jaya, sama siapa satu lagi ... Oh iya, Yusak. Mereka pernah jalan sama kamu? Ajak kamu makan atau nonton?"

Bravo. Merdeka mengingat nama kelima orang itu. Sepertinya dia mencatat nama mereka semua di note ponsel. Tiba-tiba aku jadi begitu excited melihat wajah penuh selidik Merdeka.

"Mau denger jawaban jujur atau yang enak didengar aja?"

"The first option seems better."

"Hah?" Merdeka berbicara terlalu cepat. Telingaku tidak bisa menangkap dengan baik. Kalau diucapkan satu persatu, pakai jeda, aku masih bisa menerterjemahkannya.

"Aku pilih pilihan pertama," kata Merdeka lagi. Oh, oke kalau itu pilihannya.

"Anwar ajak aku jalan malam minggu, tapi aku tolak karena waktu itu aku masih ikut les piano." Saat itu sepertinya Anwar mengira aku tidak tertarik padanya sehingga dia berhenti mengejarku.

"Ikram ngasih aku tiket nonton di bioskop, tapi karena filmnya jam 9 malam aku kembaliin ke dia." Alasanku jelas, mengajak keluar anak gadis orang nonton jam 9 malam, berduaan, kelarnya jam berapa pula, rumah jauh. Merdeka manggut-manggut mengerti.

"Fais tiba-tiba ngasih aku cokelat valentin, aku terima karena itu makanan. Setelah itu dia ngajak aku jalan-jalan, aku tolak karena lagi dapet haid." Sebenarnya itu hanya alasanku saja. Kalau dikasih makanan tentu aku mau, tapi aku tidak begitu tertarik padanya. Lebih baik menolak dengan cepat dari pada ngegantungin perasaan orang.

"Kalau Jaya dia cool banget, tiba-tiba datang ke rumah jemput aku. Udah datang ke rumah jadi nggak bisa aku tolak." Tiba-tiba Merdeka memotong ceritaku.

"Jadi kalian datang ke sekolah bareng?" Aku mengangguk. Jaya setiap hari diantar jemput sopirnya.

"Lumayan irit ongkos. Besoknya udah nggak lagi. Aku bilang ke dia kalau aku risih." Wajah Merdeka terlihat begitu bahagia mendengar penjelasanku. Sepertinya dia senang mendengar fakta aku mendepak semua pria itu.

"Yang terakhir Yusak. Dia rajin ngirimin aku chat WhatsApp. Cuma sampe tiga hari karena nomornya aku blokir." Di antara semuanya aku paling ogah pada yang satu ini.

Sepertinya Merdeka penasaran. "Kenapa?" tanyanya.

"Dia udah punya pacar. Aku nggak mau jadi yang kedua."

Meskipun punya wajah ganteng badai membahana ngalahin pesonanya Nicholas Saputra juga aku tidak akan tertarik. Dosaku bakal bertumpuk-tumpuk jika masuk di tengah-tengah hubungan orang. Lagi punya juga bakal tidak enak hati. Sakit hati jadi yang kedua, sakit hati digibahi orang, sakit hatinya ber-dobel-dobel

"Kalau sama aku kamu bakalan jadi yang pertama."

Aku cuma bisa bengong. Dia terlalu jujur. Ukuran wajah seperti ini tidak mungkin belum pernah pacaran. Tapi melihat dirinya yang kesana kemari hanya bersama Bara sih aku bisa percaya.

"Aku belum pernah pacaran," kata pria itu lagi.

...

Kupikir Bara perlu tahu. Sepulangnya dari makan berdua dengan Merdeka, aku segera pergi ke rumah Bara. Rumnya sudah ku anggap seperti rumahku sendiri, aku langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya Bara.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang