Chapter 2

42.9K 3.7K 198
                                    

MERDEKA

Meski namanya kumpul-kumpul keluarga di rumah Kakek, tetap saja tidak seramai kumpul-kumpul keluarganya keluarga lain. Orangtuaku sama-sama anak tunggal, kalau kumpul keluarga tentu hanya keluarga kami saja—meskipun aku punya banyak adik. Di saat kumpul keluarga seperti ini biasanya aku duduk manis bersama Isabella sementara orangtua dan kakekku membahas hal yang tidak perlu kupahami.

"Surat! Surat!" bisik Isabella tidak sabaran.

Sabarrrrr, batinku. Dulu aku sangat dekat dengannya—Isabella. Dia super manja, tidak mau lepas dariku, suka tidur di kamarku, bergelayutan di tanganku, ikut aku bermain basket, bahkan selalu memelukku seolah-olah dia adalah pacarku. Setelah mendapatkan surat cinta pertamanya, Isabella jadi sedikit menjaga jarak. Katanya dia sudah remaja dan sedang dalam masa pubertas. Kalau terlalu dekat denganku, dia takut pengagum rahasianya bisa salah sangka dan berhenti mengirim surat untuknya.

"Nih, dia ninggalin lagi di laciku." Aku memberikan surat cinta untuk Isabella itu diam-diam sesuai permintaannya agar tidak dilihat oleh orangtua kami. Ini surat cinta yang ketiga kali untuknya. Aku heran kenapa surat-surat cinta itu malah diletakkan di dalam laci mejaku. Harusnya mereka meninggalkan langsung di laci meja Isabella saja.

"Udah tahu nggak dari siapa?" tanya Isabella setengah berbisik.

"Nggak," jawabku tidak tertarik untuk tahu lebih banyak lagi.

Surat cinta dari pengagum rahasia. Kuno sekali zaman sekarang masih pakai surat-suratan. Padahal ada yang lebih praktis. Bisa lewat WhatsApp, e-mail, atau kirim direct messanger di media sosial yang semuanya hemat kertas.

Ku lirik Isabella kegirangan membaca surat cinta itu. Karena penasaran aku pun ikut bergabung. Baru baca kalimat pertama saja reaksiku langsung ingin berkata "huekkk". Aku mau muntah, isinya terlalu puitis. Banyak sekali kata-kata kiasan yang sulit ku mengerti dan juga seperti orang yang sedang curhat tentang kesehariannya. Tetapi setelah kupahami semuanya berujung pada kata "I love you" yang tersirat.

"Sebegitu senangnya dapet surat cinta?"

"Iyaaa."

"Jantung kamu baik-baik aja kan?"

"Iyaaa."

"Kalau ternyata yang ngirim surat wajahnya mirip upil kuda nil nggak masalah?"

"Iyyy—eh?"

Kulihat Isabella berpikir keras. Mau setulus apapun kalian menulis surat cinta, walau tulisannya sesuai Bahasa Indonesia yang baik dan benar, kata-kata yang dituangkan sangat kreatif, ataupun tulisannya rapi seperti times new roman, ujung-ujungnya akan kembali kepada penampilan fisik. Itu analisisku karena Isabella tak bisa menjawab pertanyaanku barusan.

"Yaaaaaa ... jangan mirip upilnya juga kali," rengut Isabella.

Dalam beberapa menit kedepan ku perhatikan adikku itu sepertinya memang sangat menyukai surat cintanya. Aku jadi berpikir apakah semua perempuan suka diberikan surat cinta?

"Eh," panggilku. Dia menoleh. Aku jadi bingung mau memulai pertanyaan dari mana.

"Ada apa Bang?" tanyanya dengan nada menuntut aku untuk segera buka suara.

"Semua perempuan suka ya kalau dikirimin surat cinta? Kayak rentang umur perempuan sebaya kamu." Akhirnya aku bisa menuntaskan pertanyaanku ini.

"Yes!" jawab Isabella cepat. "Tapi tergantung isinya juga. Bisa menyentuh lubuk hati nggak? Nulisnya tulus atau iseng-iseng berhadiah doang? Ujung-ujungnya gimana si penerima nanggepin suratnya," lanjutnya.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang