DALILA
Kini aku bangun pagi sebelum matahari terbit, suatu kemajuan karena aku sudah tidak terlambat lagi. Hari ini sengaja datang cepat karena ada ujian tengah semester. Aku begitu percaya diri, bukan karena aku sudah menyiapkan contekan—ini semua karena aku paham materi yang diberikan guru-guruku, apalagi aku giat belajar. Ceilah ... gayaku giat belajar. Tapi aku memang lagi giat-giatnya belajar. Sambil belajar sambil nyari jodoh. Kill two birds with one stone.
Papan sakti sudah masuk ke dalam ransel, pulpen dan teman-temannya juga sudah. Yang paling penting itu alat tulis, aku bakalan kelabakan kalau ternyata melupakan benda-benda itu. Walau bisa pinjam ke teman tapi rasanya kurang afdol kalau bukan punyaku sendiri.
"Bekalnya jangan lupa dibawa atuh," kata Bi Nunung mengingatkanku.
Aku balik lagi ke meja makan begitu melupakan kotak merah muda yang sudah disiapkan Bi Nunung. Isinya sosis sapi, nasi sedikit, dan telur yang dicampus mie. Telur campur mie buatan Bi Nunung unik, aku tidak tahu dia menjiplak resep dari mana yang jelas mienya tetap krenyes-kreyes walau dicampur di dalam telur goreng.
"Thanks Bi," ucapku lalu segera tancap kaki menuju sekolah. Selama perjalanan di dalam busway aku me-review materi Fisika yang menjadi ujian pertama hari ini. Terima kasih kepada Merdeka yang sudah dengan senang hati membantuku memberi trik seputar arus bolak balik. Kurang lebih satu jam hingga aku tiba di sekolah. Pak Pardi sudah berjaga di depan gerbang.
Seperti biasa aku menyapanya, "selamat pagi Pak." Pak Pardi juga membalas sapaanku. Tidak hanya aku yang sengaja datang cepat. Buktinya sudah ada banyak siswa yang datang. Aku berjalan menaiki tangga. Setelah sampai diujung tangga paling atas, belok kiri, dan ketemulah kelasnya Merdeka dan Bara. Aku mengintip sedikit ke dalam kelas mereka, aku melihat Bara yang sudah duduk manis di sana. Merdeka belum datang.
"Nyariin aku?"
Busetttttt semilikitiiiiiiiiiiiiii. Aku mundur sedikit karena wajahnya terlalu dekat. Namanya juga orang yang lagi berbisik, biasanya dekat-dekat. Tapi Merdeka mengagetkanku, aku ketahuan sedang mencari dia. Kalau seperti ini bisa-bisa aku yang dikira ngebet banget sama dia.
"Aku nyariin Bara kok," alasanku. Aku segera mendahului Merdeka masuk ke dalam kelasnya. Lalu sekarang aku bingung sendiri mau ngapain menemuin Bara. Merdeka mengikutiku dari belakang. Sebenarnya bukan mengikuti, karena tempat duduknya bersebelahan dengan Bara. Aku terlalu percaya diri.
"Kembaliin pulpen bulu-bulu aku," todongku. Untung saja aku mengingat pulpen lucu itu. Bara mengobrak abrik isi ranselnya mencari pulpenku yang dia pinjam. Harga pulpen itu tidak terlalu mahal, hanya sepuluh ribu. Itupun bukan aku yang beli, tapi dibelikan Bara.
"Nih, thanks," kata Bara, dia memulangkan pulpen favoritku. Ku lirik Merdeka yang ikut memperhatikanku. Sekarang dia tidak akan curiga padaku. Setelah itu aku pamit pergi ke kelasku.
...
Mengisi kertas ujian memang harus berpikir, tapi aku tidak perlu berpikir lama. Cukup pahami rumusnya, setelah itu jabarkan. Rumus tetap seperti itu, pertanyaannya saja yang punya banyak macam. Kalau kita paham rumusnya, bukan hanya sekedar rumus saja, tapi maksud dan tujuan jika diaplikasikan secara nyata akan mudah untuk mengisi jawaban walaupun soalnya diputar-putar.
Lembar jawabanku sudah terisi semua. Satu persatu teman-temanku mengumpulkan kertas ujian mereka. Aku juga langsung ikut mengumpulkan kertas ujianku. Semoga saja nilainya bagus-bagus, supaya bisa ku pamerkan ke orangtuaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Merdeka Tetap Merdeka
Fiksi RemajaMerdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik lagi. Walaupun namanya Merdeka, keseharian Merdeka tidak semerdeka namanya. Di sekolah, Merdeka menjadi penyalur surat cinta untuk adik pertam...