Chapter 33

35.6K 3.1K 315
                                    

DALILA

Rasain kode mautkuuuuuuuu.

Selama ini aku menunggu bunyi dorr dari Merdeka setelah dia melemparkan kata-kata manis. Padahal kami sudah sangat dekat. Aku kenal orangtuanya, sekarang dia kenal orangtuaku. Merdeka memang belum pernah pacaran, tapi sekalinya mau nembak orang sepertinya dia harus mikir panjang pakai perhitungan dulu, trogonometri juga sepertinya sedang dia coba aplikasikan di dunia nyata.

Jadinya aku bingung kalau ditanya orang, "kalian pacaran, ya?"

Mau dijawab apa? "menjelang pacaran" sepertinya itu jawaban yang tepat.

Sudah ku beri kode. Dia lemot sekali. Terkadang tidak selamanya Merdeka bisa membaca kata hatiku, aku memaklumi itu karena Merdeka masih manusia bukan manusia super.

Hubungan di antara aku dan Merdeka tidak ribet, sama-sama suka. Aku berani bilang sama-sama suka karena sudah yakin dia juga menyukaiku. Tapi tidak ada dari kami yang mau menyatakan duluan. Salahku juga yang berharap padanya.

Jika nanti kalau ditanya, "pacar pertamamu siapa?"

"Merdeka," jawabku.

Jika ditanya lagi, "siapa yang nembak duluan?"

Mau jawab, "aku," tapi gengsiku sebesar gentong. Tidak ada salahnya jika perempuan yang nembak duluan karena tidak selamanya harus perempuan yang jawab 'yes I do'. Tapi mau bagaimana lagi, sifatku di-setting seperti ini.

Sudah kutunggu hingga sekarang penerimaan rapot, Merdeka tak kunjung menembakku. Waktu ku kasih kode, apa yang dia jawab? Dia tidak menjawab sama sekali. Hanya terkekeh geli. Ku pikir besoknya dia bakal memberi surprise, ternyata tidak. Kami rutin pulang bersama, makan bersama di kantin, chatting-an, dan begitulah.

Seperti kata Merdeka, "aku bukan tipe yang romantis, jadi harap maklum." Aku berusaha untuk maklum. Seperti kata Om yang di iklan, no challenge no change. Ini salah satu tantanganku karena suka pada pria yang modelnya seperti Merdeka.

Rapotku sudah di tangan. Orangtuaku sudah menunggu di parkiran mobil. Koperku juga sudah di dalam mobil. Surat izinku sudah diberikan ke wali kelas. Aku akan langsung berangkat ke Canberra, selama lima hari di sana. Terhitung Sabtu dan Minggu memang hari libur, Senin hingga Rabu yang merupakan izinku di sekolah. Sebelum berangkat, aku mampir dulu ke kelasnya Merdeka. Dia baru saja selesai menerima rapot. Ada ibunya juga di dalam kelas.

"Gimana hasilnya?" tanyaku.

"Sesuai prediksimu," katanya. Ku lihat rapot pria itu, kalau dibandingkan denganku nilainya masih ada di atasku banyak. Ibunya masih berbincang dengan seseorang di dalam kelas, sehingga hanya aku dan Merdeka berdua. Aku jadi lebih bebas berbincang dengannya.

"Aku udah mau berangkat. Dari sini langsung ke airport," laporku sekedar memberi info saja padanya. Siapa tahu nanti dia menyariku ke rumah, nanti kasian sudah jauh-jauh datang tapi aku sudah di negara lain.

"Orangtua kamu mana?" tanya Merdeka.

"Udah nunggu di mobil," kataku.

"Yaudah buruan, kasian mereka udah nunggu."

Rasanya seperti lagi diusir. Jangan harap ada adegan romantis seperti sayang-sayangan sebelum sang kekasih pergi, antar ke airport, bawain koper si kekasih, atau dadah-dadahan di pintu keberangkatan. Yang ada malah dia mengusirku, mendorongku untuk berjalan meninggalkan kelasnya. Kaki ku sengaja ku tahan. Biar saja dia mendorong badanku yang berat ini—sebelum menerima rapot aku sengaja makan banyak.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang