DALILA
"Oper bolanya!" teriak Bara. Suaranya berasal dari arah belakangku.
Aku mundur selangkah, kemudian melempar asal-asalan bola itu ke belakang. Entah bola itu akan sampai ke tangan Bara atau tidak, yang jelas aku tidak melihat ke belakang sama sekali. Hanya bermodalkan feeling saja.
"Gila."
"Keren!!"
"Woaah!! Dalila!"
Bola yang kulempar berputar-putar di atas ring basket—menunggu jatuh ke dalam.
"Masuk!!!"
Mustahil, tetapi beneran masuk. Aku merasa jadi pemain basket profesional, bisa menyetak angka tanpa melihat ke ring. Kupikir-pikir lagi sepertinya aku memang punya bakat jadi pemain basket.
"Beneran masuk?" tanyaku maish tidak percaya. Merdeka yang berada di sebelahku mengangguk. Dia juga melihat hal itu. Kami berdua sama-sama bengong.
"Jangan-jangan aku anaknya Marchel Jordan?" tanyaku pada Merdeka tanpa pikir panjang.
"Michael Jordan, bukan Marchel Jordan," kata Merdeka membenarkan ucapanku di tengah kekehan kecilnya. "Oh iya, sampe kapan kamu mau narik-narik kaos aku?" tanyanya menyadarkanku.
Tanpa kusadari sedari dari tadi jariku mempelintir ujung kaos pria itu. Dengan gerakan sebaliknya, aku mengembalikan kondisi kaos pria itu ke bentuk asalnya, plintiranku tadi meninggalkan jejak lecek di sana. Untungnya dia tidak marah.
Kami main lagi. Tidak terlalu lama karena pada akhirnya yang menang adalah timnya Merdeka. Aku sudah lelah, sedangkan mereka belum. Kata mereka game kecil seperti ini bukan sesuatu yang berat.
Setelah coach Eli datang, melakukan beberapa pengarahan, akhirnya mereka diperbolehkan pulang setelah melakukan pendinginan.
"Satu, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Sebelahnya lagi. Hitung," Bara memimpin pendinginan. Dengan sengaja Bara dan tim basket tidak menyebutkan angkat dua—mereka menggantinya dengan heart sign dua jari, kecuali Merdeka yang malu-malu melakukannya. Katanya mereka akan melakukan itu saat pemanasan dan pendinginan pada pertandingan nanti agar penonton berteriak histeris di lapangan nanti.
Aku menunggu Bara di kursi yang biasa kududuki. Karena kursi kayu itu tidak begitu rapat. Bokongku rasanya seperti bolong-bolong bergaris. Dalam dudukku, aku bergeser ke kiri, ke kanan, sedikit maju, mundur lagi. Mencari posisi paling nyaman.
"Kamu kenapa?" tanya Merdeka, rupanya kegiatan mereka sudah selesai.
"Kursinya nggak empuk," keluhku.
"Besok bawa sofa dari rumah." Dia lagi bercanda? Garing banget.
"Nggak punya sofa," kataku menantangnya.
"Serius?" tanya Merdeka heran. Suaranya malah terdengar superserius.
"Enggaklah. Bercanda. Bercanda," kataku. Kalau tidak punya sofa di rumah, selama ini tamu yang datang duduk lesehan dong? Berasa tinggal di warung lalapan.
"Aku juga bercanda," katanya.
Tidak ada lagi percakapan antara kami karena Bara sudah selesai mengepak barang-barangnya. Tidak sengaja mataku menatap lengan Bara. Dia memakai baju tanpa lengan. Aku menyentuh lengannya dengan rasa penasaran.
"Nggak terlalu letoy," pujiku. Dia malah menunjukkan bisep dan trisepnya.
"Keren kan? Pengen punya cowok kayak gini?" tanyanya dengan niat tersembunyi—pamer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Merdeka Tetap Merdeka
Fiksi RemajaMerdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik lagi. Walaupun namanya Merdeka, keseharian Merdeka tidak semerdeka namanya. Di sekolah, Merdeka menjadi penyalur surat cinta untuk adik pertam...