Chapter 22

21.4K 2.8K 287
                                    

DALILA

"Good morning Mr Pardi," sapaku sok Inggris. Pak Pardi yang berjaga di gerbang malah cengingisan. Mungkin karena dia tidak tahu mau menjawab apa, tetapi bisa saja karena dia melihatku datang tepat waktu.

Tak ... Tak ... Tak ... Bunyi langkah kaki ku di tangga. Aku sengaja berjalan pelan, berhenti di depan kelasnya Merdeka. Masih sepi. Pria itu belum datang rupanya. Kali ini malahan aku yang jadi rajin, ternyata jatuh cinta banyak manfaatnya. Aku datang tepat waktu ke sekolah, piket tanpa ngedumel, tebar senyum pula.

Pagi ini suasana hatiku sedang bagus. Sambil menunggu lonceng berbunyi aku memilih untuk mendengarkan lagu dari earphone-ku. Suara Elvis Presley melantun indah di telingaku. Jangan mengatakan seleraku kuno, karena lagu ini tidak lekang di makan zaman. Di film The Conjuring saja masih memutar lagu ini. Kata Michiko lagu ini menakutkan, yep, dia takut karena dia tahu lagu ini setelah menonton film itu. Padahal liriknya sangatttttt menyentuh—aku paham berkat lirik terjemahan.

Lantunan lagu itu membawa pikiranku berkelana. Isinya tentang jatuh cinta. Kalau kupikir-pikir lagi jika dihitung dengan cinta monyetku saat SD, Merdeka bukan cinta pertamaku, tetapi bisa saja dia menjadi yang terakhir untukku. Aku tidak berharap sampai ke arah sana karena masih sangat jauh dari bayanganku. Bisa jadi dia milik orang lain yang ternyata dititipkan padaku. Aku berpikir terlalu jauh karena saat ini dia memenuhi isi kepalaku.

Dan sekarang aku berusaha untuk lebih membuka diri karena kalau terlalu lama memendam perasaan dan menonton saja membuatku sangat muak. Aku ingin dia datang padaku dan berkata, "Dalila, kamu punya waktu? Mau jalan nggak?" Tapi dari pada itu lebih baik sekalian berkata, "will you be my girlfriend?". Dorrrrr! Yang tepat sasaran lebih meyakinkan.

Dalila oh Dalila sadar!

Benar kata Merdeka, sepertinya kepalaku sedikit kegeser. Bahkan sempat-sempatnya aku berharap dia menembakku. Pdkt yang kami lakukan masih 5%, ibaratnya dari garis start saja baru lari selangkah. Aku jadi begini karena aku tidak bisa berhenti jatuh cinta padanya.

"Hai."

Eh kaget! Panjang umur, Merdeka muncul di waktu yang tepat. Ku tegakkan posisi dudukku. Dia duduk di bangku yang berada di depanku, aku tidak sadar dia tiba-tiba sudah berada di situ. Langkah kakinya saja tidak kedengaran. Oh iya, aku kan lagi pakai earphone. Merdeka duduk sambil menatapku. Dia hanya duduk diam tidak berbicara membuatku salah tingkah.

"Sendirian aja?" tanya Merdeka. Aku menggeleng kemudian menunjuk beberapa siswa yang juga ada di kelas ini. Masih sepi, tapi setidaknya aku tidak sendirian. Mereka mencuri-curi pandang ke arahku dan Merdeka penuh minat. Mungkin karena baru pertama kali ini Merdeka masuk ke kelasku, menghampiriku, berduaan berbincang di pagi hari dengaku. Hebattt, aku berhasil membuat beberapa anak perempuan di kelas ini iri.

"Yang duduk di sebelah kamu siapa?" Sepertinya Merdeka tidak mengenal teman sebangkuku.

"Farah. Kayaknya sebentar lagi datang," jawabku.

"Farah perempuan kan?" tanya Merdeka. Dia kenapa sih?

"Iyalah perempuan. Kalau laki-laki namanya Fahri," kata Farah yang baru saja datang. Dia langsung duduk di tempat duduknya.

"Teman kamu?" tanya Farah pura-pura tidak tahu padaku. Padahal kita sudah pernah membahas tentang Merdeka yang merupakan anak tim basket. Farah mengedipkan matanya padaku seolah-olah 'teman' yang dia maksud lebih dari sekedar temanku. Memang akhir-akhir ini tidak ada anak laki-laki yang menghampiriku di kelas selain Ibra yang memang sekelas denganku. Bara? Dia selalu menyuruhku untuk datang ke kelasnya—katanya malas jalan kaki ke kelasku. Dan dengan kehadiran Merdeka yang biasanya tidak terlihat di kelasku ini, tentunya ada sesuatu yang lain.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang