DALILA
Hiks.
Aku tidak menangis. Aku hanya sedih karena sedang dikejar deadline. Karena sebentar lagi akan memasuki ujian tengah semester penerbitan buletin sekolah dipercepat. Semuanya sudah rampung, tetapi setelah bahan berita kami sodorkan pada guru Pembina, kami mendapat beberapa koreksi. Ingin ku bawa pulang saja ke rumah, tetapi akhir-akhir ini sering mendapatkan banyak PR. Aku tidak ingin fokusku di rumah terbagi-bagi. Sehingga kami kerja lembur di ruang ekskul. Seperti biasa, Rusli yang akan membelikan kami makanan di kantin. Tentu saja pakai uang kami masing-masing, dia sudah terlalu baik mau mengurusi isi perut kami.
"Udah makan? Kalau belum kita bagi dua aja," tawarku pada Rusli. Batagor yang dia beli ukuran jumbo. Aku tidak akan bisa menghabiskan ini.
Dengan senang hati Rusli mau. Tanganku bergerak cepat di atas laptop, mataku sesekali bergantian menatap laptop dan piring mika batagorku. Rusli membantuku memberi saran apakah kata-katanya sudah pas, apakah letak fotonya sudah pas, dan masih banyak lagi. Lebih baik meminta saran orang lain, karena kalau hanya mengandalkan diri sendiri hanya akan mengikuti selera sendiri saja. Belum tentu menurut orang lain sudah bagus.
"Kak, fotonya ditukar aja, biar foto ini yang jadi foto utama," saran Rusli, dia menyarankan foto full tim beserta coach Eli.
Aku menggeleng, "No. Merdeka nggak kelihatan jelas di situ."
Rusli diam saja tidak berkomentar lagi, sepertinya dia sudah sadar. Jika Michiko pilih Bara, aku punya Merdeka. Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada telepon dari Bara.
"Hhmm," sapaku malas.
"Di mana?" Bukan suaranya Bara, ini suaranya Merdeka. Sekali lagi aku memastikan nama yang ada di layar ponselku. Benar, ini nomornya Bara—bukan dari Sekali Merdeka Tetap Merdeka.
"Ini Merdeka bukan sih?" tanyaku pura-pura memastikan.
"Iya," jawab Merdeka. Aku jadi bingung kenapa dia pinjam ponselnya Bara untuk telepon aku. Padahal kalau dia yang telepon akan langsung ku angkat setelah dering pertama.
"Kenapa nelpon pakai ponselnya Bara?" tanyaku.
"Habis pulsa."
Astagaaaaaa. Rumahnya sama besar dengan rumah kerajaan di drama kolosal, dulu dia juga sempat tawarin aku uang untuk beli kuota, tapi dia sendiri tidak punya pulsa.
"Mau aku transferin pulsa?" tawarku yang sebenarnya ingin menggodanya.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku," kata Merdeka mengalihkan pembicaraan.
"Aku di ruang ekskul. Lagi sibuk. Nggak bisa makan bareng kalian. Jangan nyiapin kursi buat aku," jawabku. Dia pasti lagi menungguku di kantin—bersama Bara tentunya.
Merdeka kembali bertanya. Kali ini pertanyaannya berhasil membuatku tersenyum tidak jelas. "Tapi kamu udah makan? Kalau belum nanti aku bawain makanan ke sana."
Merdeka yang berkata seperti itu, tetapi aku melemparkan senyum pada Rusli. Raut wajah Rusli bergidik ngeri setelah bertatapan denganku. Rusli pasti mengira aku sedang tidak waras.
Merdeka mulai menunjukkan taringnya. Kalau seperti ini aku makin suka padanya.
Kalau dia lihat wajahku yang sekarang kira-kira dia bakal mikir apa, ya? Pasti dia mikir aku ini sangat sangat sangaaaaatt suka padanya.
Tapi aku sedikit heran, sejak kapan Merdeka jadi seperti ini? Seperti bertanya apakah aku sudah makan atau belum? Bahkan sampai menawari untuk membawakanku makanan segala. Aneh.
"Siapa yang ajarin kamu jadi perhatian kayak gini?" selidikku.
"Ayah, Isabella, Bara, coach Eli—hhm sama Google."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Merdeka Tetap Merdeka
Teen FictionMerdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik lagi. Walaupun namanya Merdeka, keseharian Merdeka tidak semerdeka namanya. Di sekolah, Merdeka menjadi penyalur surat cinta untuk adik pertam...