#6

71 5 0
                                    

"Araya..." suaranya bergetar.

"Araya... Go Ara..." Nafasnya terlihat berat. Matanya memerah. Tak lama kemudian dia mencengkeram kedua lenganku. Aku semakin bingung. Haneul tidak pernah sekalipun bersikap seperti ini sebelumnya.

Tiba-tiba dia memelukku dengan erat sambil terus memanggil namaku. Tak lama dia menangis dengan cukup keras.

"Araya... Khajima... Araya ... hiks, hiks, hiks, "

Aku memeluknya tak kalah erat sambil menepuk pungggungnya dengan lembut.

"Aku tidak akan kemana-mana. Aku ada disini, Haneul. Tidak akan pernah pergi meninggalkanmu."

Dia masih saja menangis, kali ini pelukannya semakin erat. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku.

"Menangislah, Haneul. Menangislah. Tapi setelah itu longgarkan pelukanmu, dadaku sesak."

Tak lama, tangisannya mereda. Diikuti dengan pelukannya yang merenggang dan badannya yang melemah. 

"Gumawo, Haneul." Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega. Tapi kenapa badannya terasa begitu berat. Aku coba memanggilnya beberapa kali, tetapi dia sama sekali tidak menjawab. Lebih membuatku khawatir lagi adalah tak terdengar suara tangisannya.

"Nona, temanmu sepertinya pingsan." Kata seorang wanita paruh baya yang dari tadi menemani Haneul.

Aku membalikkan badannya, benar saja. Dia sudah pingsan. Khawatir jika terjadi hal yang buruk, aku memutuskan membawanya ke klinik terdekat.

***

"ARAYA!!!" Tiba-tiba Haneul berteriak dalam posisi duduk.

Aku segera menghampirinya. Haneul terlihat panik. Setelah melihat ke arahku, dia segera turun dari tempat tidur dan memelukku.

"Araya, gwaenchana?" 

"Apa yang kau katakan? Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu. Gwaenchana?"

"Apa kau tidak terluka?" Dia memutar badanku untuk memastikan. Aku menghentikannya. Memegang kedua lengan dan memandang kedua matanya.

"Haneul-ah, nan gwaenchana. Sekarang tenanglah, duduk dulu. Dokter bilang kau baik-baik saja, hanya shock. Itulah mengapa kau pingsan tadi."

"Syukurlah jika kau baik-baik saja."

"Haneul-ah, gwaenchana?"

"Ne, gwaenchana. Mianae Araya."

"Waeyo?"

Haneul menundukkan wajahnya, tak lama kemudian aku mendengar suara terisak. Ya, dia menangis lagi. Aku memeluknya. Dia terus saja berucap maaf dan . . . Khajima? Kenapa aku harus pergi? Maksudku kenapa dia terus berbicara begitu? 

"Ayo kita pulang. Kerumahku saja."

"Ne. Ah, andwe. Kenapa kita pulang? Tujuan kita tadi kemana? Ke kampus kan? Ayo kita kesana."

"Haneul, lebih baik kita pulang saja."

"Andwe, kita ke kampus. Setelah itu baru kita pulang."

"Haneul."

Dia menatapku dengan wajah memelas. Mengingat apa yang sudah terjadi tadi, membuatku tidak tega untuk menolaknya. Entah mengapa aku selalu kesulitan untuk menolak permintaannya. Terpaksa, kali ini aku menurutinya.

Kali ini? Bukankah aku selalu menuruti permintaannya?

Ah, siapa yang bisa menolak permintaan perempuan dengan wajah dan mata yang seperti itu. Seperti mata seekor kucing yang berharap diberi makan.

Why It's Always You (Min Yoongi) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang