# 22

74 5 2
                                    

Di dalam ruang rawat Yoongi sekarang, hanya ada aku dan Jimin. Sungguh ini bukan suasana yang menyenangkan, sangat kikuk. Yoongi masih tertidur setelah perawat membersihkan luka dan menyuntikkan sesuatu ke dalam selang infusnya.

"Maafkan aku, Jimin-ah." Kataku sambil memegang tangannya,

"Untuk apa?"

"Kita akan pergi dari sini saat sudah ada yang datang, aku janji."

Jimin memutar badannya menghadapku dan menangkup tanganku.

"Sudah ku katakan padamu, jangan khawatir. Aku tidak akan menghalangimu melakukan apapun yang kau mau, bahkan seperti apa yang terjadi sekarang. Aku hanya akan menahanmu jika apa yang kau lakukan itu berbahaya atau membahayakan orang lain."

"Maaf." Ucapku lirih. Jimin hanya tersenyum dan menggeleng, lalu mengecup punggung tanganku dan membelainya.

Aku tahu apa yang aku lakukan kali ini pasti sangat menyakiti hatinya. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku tidak bisa meninggalkan Yoongi seperti ini. Disisi lain aku menjadikan Jimin korban atas perbuatanku sekarang. Aku tahu, ia pasti terluka. Walaupun ia sangat pandai menyembunyikannya. Ku rebahkan kepalaku di bahunya. Ku hirup dalam aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya. Tak terasa sepertinya aku tertidur disana, sampai Jimin membangunkanku.

"Ara-ya, sepertinya Yoongi membutuhkanmu." Aku membuka mataku perlahan, sambil menyesuaikan cahaya yang menerobos masuk ke mata.

Aku merubah posisi menjadi duduk dan melihat ke arah Yoongi. Ia terus bergerak gelisah dan terdengar terus menghembuskan nafas berat dari mulutnya. Kemudian aku berjalan mendekat ke arah ranjang.

"Yoongi, ada apa?" Ucapku lembut sambil mengusap kepalanya.

"Ara-ya . . ." Ia membuka matanya sekilas lalu menutupnya lagi.

Ku ambilkan air putih di atas meja dan memberikannya pada Yoongi.

"Kau harus banyak minum air putih. Demammu belum benar-benar turun, jadi habiskan air putihnya." Yoongi menolak, tapi aku terus memaksanya. Alhasil mau tak mau ia menghabiskan segelas air putih yang ku berikan.

"Sakit, Ara-ya."

"Iya, aku tahu. Tidurlah." Sambil kuusap perutnya.

Yoongi menarik tangan kiriku yang ada di kepalanya dan meletakkannya di leher yang terasa hangat. Ia masih terus bernafas berat, terkadang meringis merasakan sakitnya. Sungguh, aku tidak menyukainya. Wajahnya yang putih pucat merona merah karena demam. Bibirnya menjadi sangat kering. Aku terus memandang wajahnya dengan lekat.

Ingatanku kembali pada beberapa bulan yang lalu, saat kami berangkat diklat fotografi. Hari pertama aku melihat wajah Yoongi yang sedang tertidur. Saat itu wajahnya terlihat sangat bersinar, berbeda dengan hari ini.

"Ara . . ."

"Hm?"

"Khajima." Ucapnya lirih.

Aku hanya terdiam, tak punya keberanian menjawabnya. Yoongi kembali tertidur. Entah dia sadar atau tidak saat mengatakannya. Terus terang, saat ini aku tidak berani memandang Jimin. Rasanya campur aduk. Ada rasa kasihan dan bersalah yang besar. 

Ya Tuhan, aku harus bagaimana sekarang. Aku tidak ingin menyakiti Jimin lagi, tapi aku menyayangi Yoongi. Aku egois untuk saat ini. Sungguh aku sangat egois. Aku tidak mempertimbangkan perasaan Jimin yang melihatku melakukan ini secara terang-terangan di depannya. Tidak mungkin dia tidak merasa sakit hati. Tapi sungguh aku tidak bisa melawan semua. Melawan rasa sayangku pada Min Yoongi.

Yoongi tidak melepaskan genggaman tangannya. Ia tertidur dengan posisi yang sama. Ketika ia terlihat sudah lelap, kucoba untuk menarik tanganku. Tapi ia kembali bangun dan menahanku agar tidak pergi. Jika bicara tentang lelah, iya, aku lelah. Lelah fisik dan psikis. 

Tok! Tok! Tok!

"Permisi." 

Ada seorang wanita paruh baya yang mengetuk dan masuk ke ruang rawat Yoongi.

"Ah, ya silahkan masuk." Sambut Jimin.

"Apakah ini benar ruang perawatan Min Yoongi?"

"Iya benar."

"Oh, syukurlah. Saya Ibunya."

"Wah, silahkan masuk bibi. Yoongi sedang tidur. Dia baru saja mendapatkan perawatan."

Aku yang melihat ibu Yoongi berjalan mendekat ke ranjang langsung berusaha berdiri menyambutnya. Tapi saat aku melakukannya, Yoongi masih menahan tanganku. 

"Ah, bibi. Maafkan saya. Ini ... " Ucapku sambil melihat ke arah Yoongi dengan terus membungkukkan badanku berulang kali.

"Gwaenchana, gwaenchana. Dia memang seperti itu jika sedang sakit. Aigoo, anakku yang malang. Bagaimana bisa kamu berakhir seperti ini." Ucap sang ibu sambil mengusap kepala anaknya.

Sementara Yoongi sama sekali tidak membuka matanya, mungkin karena pengaruh obat. Pengaruh obat? Tapi kenapa motoriknya masih berjalan dengan baik? Dia masih punya kekuatan untuk menahan tanganku, sampai saat ini.

"Yoongi-ya, lepaskan tanganmu. Ini Ibumu sudah datang. Dia ada di sisimu sekarang." Ucapku

"Hmm... " Hanya itu yang terdengar. 

Sungguh, Yoongi benar-benar membuatku malu saat ini.

"Maaf, Nona. Apakah kamu yang bernama Ara?" Tanya ibu yoongi.

"Iya, betul."

"Waaah, Yoongi tidak berbohong berarti. Dia sering bercerita ketika menelfon, tentang seorang wanita yang selalu membantunya saat dia sedang sakit. Terima kasih, Ara-ssi."

"Ah, Yoongi hanya melebih-lebihkan, Bibi. Saya tidak selalu membantunya. Hanya kebetulan saat dia sakit saya sedang ada bersamanya atau tidak sengaja melihatnya."

"Kalau tidak sengaja melihatnya, orang punya dua pilihan. Pertama membiarkan saja dan pergi berlalu, kedua datang dan menolongnya. Kamu punya dua pilihan itu kan?" Aku hanya bisa tersenyum menjawabnya.

"Oiya, Bibi, perkenalkan ini Jimin. Dia juga teman dekat Min Yoongi." Aku melihat Jimin dan memintanya mendekat dengan mataku.

Suasana menjadi hening seketika sesaat setelah mereka berjabat tangan.

"Bibi, maafkan aku. Sepertinya aku dan Jimin harus pergi sekarang. Kami tadi tetap tinggal karena tidak ada seorangpun yang menemaninya. Tapi karena Bibi sudah datang, bolehkah kami pergi?" Pintaku dengan wajah memelas penuh harap.

"Iya, tentu saja. Kalian boleh pulang. Pasti kalian sangat lelah. Terimakasih sudah menjaga putraku." Aku menunduk hormat.

"Yoongi-ya, lepaskan tanganku. Aku harus pulang bersama Jimin. Ibumu sudah disini. Kau tidak akan sendirian." Sambil berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya.

Tidak sesuai dengan prediksi. Kukira dia akan melepaskan tangannya, ternyata tidak. Aku melihat ke arah Jimin dengan sedikit panik. Sepertinya ibu Yoongi mengerti situasinya kemudian memegang tangan yang masih setia menahanku.

"Lepaskan, nak. Ibu ada disini."

Yoongi masih tidak mau mendengarkan, ia tetap menahanku disana. Aku memandang ke arah Jimin dan Nyonya Min bergantian. Ibu Yoongi terus berusaha membujuknya agar melepaskan tanganku, tapi sepertinya sia-sia. Kemudian Jimin melangkah mendekatiku.

"Kita disini saja malam ini. Kasihan Bibi jika langsung kita tinggal saat baru saja sampai. Bibi pasti juga sangat lelah setelah melakukan perjalanan. Besok pagi kita bisa pulang." Ucap Jimin sambil melingkarkan tangannya di pinggangku.

Sungguh, aku rasanya seperti seorang perempuan bodoh. Otakku tiba-tiba tidak bekerja dengan baik. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku terus saja dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Buah simalakama? Ya, aku sedang disuguhkan sekotak buah simalakama saat ini.

Kutatap mata Jimin. Sungguh hanya ketulusan yang kudapat. Lalu kutundukkan kepala karena aku terlalu malu untuk menatapnya. Jimin mengelus rambutku dan mengecupnya singkat. Kemudian memintaku untuk kembali duduk di sebelah Yoongi. Lantas ia berjalan ke sisi ranjang yang lain dan mengajak ibu Yoongi untuk duduk di sofa agar beliau bisa istirahat.

Why It's Always You (Min Yoongi) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang