# 25

95 5 2
                                    

Yoongi masih menikmati sakitnya dengan posisi setengah tidur, sementara yang lain kembali menikmati film dan camilan yang telah disiapkan. Aku dan Jimin duduk tak jauh dari Yoongi dan Haneul. Ia tidak bisa menikmati film yang diputar, karena sibuk dengan Yoongi yang kadang masih merintih dan bergumam marah pada dirinya sendiri. Jungkook dan Taehyung-lah yang sangat menikmati malam ini.

Sesekali masih kuperhatikan Yoongi. Bagaimana tidak? Aku memperparah rasa sakitnya, dasar ceroboh.

"Bagaimana keadaannya?"

"Hm? Maksudmu Yoongi?" Jimin mengangguk. "Ya seperti yang kau lihat sekarang, kurasa itu masih sakit."  

"Coba lihat dia dan pastikan lagi."

"Tidak perlu, sudah ada Haneul. Kalau butuh sesuatu dia akan memanggilku."

"Sebelum terjadi sesuatu lebih baik kau periksa dulu." Aku menoleh dan memandang Jimin dengan lekat dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya dia inginkan.

"Aku tahu kau sedang khawatir saat ini. Pergi dan periksalah." Aku menggeleng dan merebahkan kepalaku di dadanya.

"Andwe. Sudah, jangan menyuruhku ini itu. Biarkan aku duduk dan menikmati film ini. Jangan memaksaku melakukan sesuatu yang tidak ingin kulakukan."

"Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Jangan sungkan jika kau ingin bersamanya. Jangan karena ada aku disini membuatmu tidak leluasa melakukan apa yang biasanya kau lakukan. Kau adalah orang yang paling tidak bisa ketika melihat orang di sekitarmu sakit. Kau adalah orang pertama yang selalu ada untuk kami. Kamu itu sudah semacam apa ya, dokter pribadi?"

"Sudah diamlah, jangan bicara lagi."

"Jangan membohongi dirimu sendiri, Ara-ya."

"Kalau aku bilang diam, ya diam. Diam Jimin-ah, diam." Teriakan tertahanku sambil menyembunyikan wajah di dadanya.

Jimin memelukku dan mengusap kepalaku lembut, "Aku hanya tidak mau jadi penghalangmu."

"Kamu ngomong apa sih dari tadi?" Kali ini aku benar-benar kesal padanya. Jadi aku berdiri dan pergi dari sana.

Jimin mencoba menahanku dengan menarik tangan kananku. Tapi karena sudah terlanjur kesal, kuhempaskan tangannya dan berjalan ke bibir pantai. Tidak peduli apa yang ada di pikiran mereka yang melihat. Kali ini aku hanya ingin pergi, sendiri. Sendiri? Mana mungkin. Jimin berjalan mengikutiku.

Sampai di bibir pantai yang terletak agak jauh dari camp, kuputuskan untuk duduk sambil memeluk lutut.

"Kau tidak perlu mengikutiku, Jimin-ah. Kembalilah kesana."

Jimin tidak akan mendengarkanku. Dia malah duduk bersila di sebelahku.

"Mianata."

"Kenapa kau selalu berusaha mendekatkanku padanya? Kau bilang akan membantuku lepas darinya, tapi kau selalu membuatku dekat dengannya. Wae, Park Jimin. Wae?"

"Karena aku tidak suka melihat wajahmu yang selalu khawatir. Karena aku tidak suka saat melihat batinmu tersiksa. Hanya dengan Yoongi aku bisa melihat kelegaan diwajahmu. Aku tidak mau menyakitimu, Ara-ya. Tidak mau. Aku akan selalu ada untukmu, ingat itu. Aku akan selalu ada. Aku akan membantumu jika kamu yang menginginkanya."

"Aku menginginkannya. Aku ingin kamu membantuku." nadaku mulai meninggi.

"Mulutmu. Hanya mulutmu yang mengatakan itu. Tanyakan sekali lagi pada hatimu, apakah kau menginginkannya?"

Aku menyisir rambut ke belakang dengan tanganku kemudian menggosok wajah dengan frustasi. Mencoba mengatasi diri agar tidak terlalu marah. Tapi jika ku lakukan, maka aku akan menangis. Lagi.

Why It's Always You (Min Yoongi) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang