10 - datar

278 54 7
                                    

beberapa menit setelahnya, pintu kamar Raka terbuka. Menampilkan Rama dengan wajah datarnya, dia melirik Raka sebelum dia menatap Amar

"dipanggil ayah" begitu katanya, Amar mengangguk lalu mengikuti langkah abangnya yang menuju ke ruang tamu. Ada Ara dan Ayahnya disana, dia tidak ber jas lagi- kali ini dia memakai pakaian santai dengan Chiko yang menggeliat diatas pangkuannya

Amar memutuskan untuk duduk di samping Ara, yang berarti berhadapan dengan Ayah. Sementara Rama duduk di samping kanannya

"Raka kemana Mar?"

dia nanya Amar

"udah tidur"

dia mengangguk "obatnya udah?" tanyanya lagi

"udah"

dia tersenyum, senyumannya itu mirip banget sama Rama, Ara dan Raka- gak bisa dibilang mirip Amar. Karena pada dasarnya Amar ini beda banget sama mereka.

baginya, Amar sama sekali gak ada mirip-miripnya sama saudaranya sendiri, serius. Bahkan Amar pernah meragukan kalau - kalau dia ini anak pungut

Kalo dijejerin- pasti banyak yang bilang mereka kembar tiga dan Amar anak pungut. Ibaratnya, Raka itu versi Rama yang boncel, kalau Ara itu versi Rama yang rambut panjang dan mungil

padahal dulu Ara ini tomboi banget, rambutnya dibondol, gak pernah mau pakai rok kecuali rok sekolah. udah gitu temen-temennya rata-rata cowok. Ara juga pernah sesekali ikut tawuran. Bahkan Mama-nya udah bosen kasih nasihat

tapi semenjak Ara kuliah semester dua, dia udah agak ke cewek-an. Bahkan Ara yang dulunya gak suka sama warna pink karena terlalu cewek menurutnya- malah manut warna ungu dan pink. Dan ternyata, alasannya itu karena Azam, suaminya Ara.

tiba-tiba, Ara menyenggol Amar dengan sikutnya "ditanya ayah tuh" katanya

Amar mengerutkan kening lalu menatap ayahnya yang ternyata lagi ngeliat ke arahnya

"ung... kenapa?" tanya Amar dengan ragu-ragu

"tuh kan bener, dia tuh gak berubah" Amar menoleh ke arah Rama yang lagi melipat kedua tangan didadanya. Amar mendengus, sejak awal dia disini kayaknya Rama gak suka banget sama dia

ayahnya terkekeh sambil menggeleng kepala pelan "Amar, Amar"

Amar mengerjap, menatap sang ayah dengan tidak percaya

dia berdeham "jadi, kamu masih mau tinggal dirumah Abel?"

Amar mengangkat kedua bahunya "kalo aku gak tinggal disana, berarti aku gak sekolah"

"lo bisa pindah kan, sekolahan gak cuma satu dibumi ini" jangan tanya, suara nyolot itu keluar dari mulut abangnya. Ah, lama - lama Amar jadi malas nyebut dia pake embel - embel 'bang'

enak banget dia ngomong, lah kan yang sekolah gue.

Amar gak jawab, cuma melengosin muka sambil menatap aquarium besar yang ada disudut ruangan, dia baru sadar sekarang kalau ada aquarium disana, lampunya meriah banget, udah kaya lagi pada disko itu ikan. Palingan isinya cuma cupangnya si Raka

"kamu kenapa sih Mar? ayah nggak ngapa - ngapain lho" katanya, dengan nada biasa yang Amar sebut sebagai nada marah, suaranya datar. Walaupun tangannya membelai bulu si kucing buluk

"Amar enggak tau yah" kata Amar pada akhirnya, dia juga enggak tau, kenapa dia bisa semarah itu sampai nekat kabur dari rumah

padahal, yang ngebujuk perempuan itu, bukan ayahnya

tiba-tiba dia mendengar suara aba- Rama tertawa "udah puas merutuki ke goblokan lo selama dua tahun ini?"

"Rama ish" desis Ara sambil mengusap punggung tangan Amar

Amar diam

Rama malah berdecih "biar gue tambahin, lo itu ceroboh. Menyimpulkan sesuatu tanpa tau kebenarannya"

Amar mengangguk setuju

"lo itu bodoh!"

dia mengangguk lagi, iya dia memang bodoh, bahkan dia merasa jadi orang paling goblok karena; Ara, Rama dan tentu Raka itu pinter- bahkan bisa dibilang jenius

ah, dia bener - bener merasa kalo dia ini anak pungut.

"Ram!" elusan kakaknya sekarang pindah ke bahu Amar

"lo itu gak sopan!"

dia mengangguk setuju, seakan - akan semua yang paling buruk didunia ini adalah Amar

"lo itu ce-

"bang!"

itu bukan suara Amar, Ara, apalagi Ayahnya

dia melihat Raka sedang berlari ke arahnya, tubuh kecil itu lagi memeluk Amar, dia tersenyum "Raka kok bangun"

Raka melepaskan pelukkannya dan menatapnya dengan wajah yang gak dia ngerti.

lalu dia berjalan menuju Rama, awalnya Amar bingung. Tapi enggak lagi setelah Raka memukul bahu Rama dan mencakar tangan kanannya. Disaat dia berdiri- mau menghentikan aksi si Raka, bocah itu berlari kecil ke arah Amar dan menarik tangannya

saat mereka melewati bang Rama, Raka berhenti "itu karena kamu udah bikin abang aku nangis! dasar Rama jahat!" teriaknya tepat didepan bang Rama.

eh? Amar mengelap pipinya, yang ternyata memang basah. Dia merutuki dirinya dalam hati, kenapasih kalo nangis gak bilang - bilang, malu - maluin aja

saat didepan Rama, Amar bisa liat jelas bekas cakaran di pipi dan di keningnya. Jadi, Ara itu benar

Amar juga sempat melirik ayahnya sebelum tarikan Raka menjauh, tatapannya masih sama, datar sambil ngelus Choki

kaya gak terjadi apaan aja, padahal anaknya abis di cakarin sama si Raka

"Raka enggak boleh bilang begitu" kata Amar saat mereka sudah bersiap untuk tidur lagi

Amar ngeri sendiri ngeliat wajah adiknya yang ikutan datar, kayaknya keluarga ini emang udah mendarah daging muka datarnya

"bang, sekali lagi aku bilang sama abang nih ya, mereka itu jahat, sekarang mereka malah buat abang jadi nangis, bisa aja besok mereka nge giling abang di mesin cuci, abang jangan deket - deket lagi"

"mereka gak bisa giling abang ke mesin cuci Ka, badan abang gede"

Raka menyibak selimut, melihat tubuh abangnya yang kurus dari atas sampai bawah "mereka bisa" katanya pelan

"atau bisa jadi mereka bakalan masukin abang ke oven, ngerendem abang di toilet, ngurung abang di laci, be—"

"tidur Raka, kamu ngelindur" Amar menarik selimut lagi, menutupi dirinya dan Raka

"tapi bang, mereka—"

"Raka" sela Amar "mereka itu keluarga kita, bang Rama itu abang kita, kak Ara itu kakak kita, ayah itu ayah kita"

"tapi mereka jahat" lirih Raka

"no, they're not, biar abang kasih tau ke kamu ......."

amarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang