setelah beberapa menit memeluk boneka, Amar meletakkan lagi boneka nya ditempat semula dan beranjak ke wastafel
dia menatap laki - laki enam belas tahun berkaca mata dicermin, dia melepas kacamatanya, menaruhnya dipinggiran wastafel
benar, sama sekali tidak ada bagian dari wajahnya yang mirip dengan para saudaranya
mata bulat yang selalu dilapis kacamata itu berwarna coklat madu dengan tatapan yang selalu ramah, hidungnya kecil— tidak seperti tiga saudaranya yang punya hidung bangir, dia punya bibir tipis yang selalu digigit dengan gigi kelinci nya
pernah sekali, dulu ia bertanya pada sang ayah tentang wajahnya yang tidak mirip dengan Ara dan Rama- saat itu Raka belum lahir
kata Fazril, Amar itu mirip dengan Zila. Amar senang sekali waktu Fazril bilang begitu, tapi lama - kelamaan Amar jadi ragu
baginya, tidak ada satupun dari wajahnya yang serupa dengan Zila, mama nya itu sempurna- sedangkan dia cacat. Amar itu aneh, perpaduan dari segala keanehan yang ada dibumi
dia membasuh mukanya, mengelap dengan handuk didekatnya dan memakai kacamata nya lagi. Tanpa kacamata, Amar kaya makan nasi tanpa lauk
dia meraih ponsel dan menyeret tasnya ke ruang tamu. Sontak semua orang disana menatap Amar
Amar mengerjap sekali, Ayahnya menatapnya dengan tatapan tidak percaya, Rama menatapnya dengan tatapan rada bersalah yang Amar anggap sebagai tatapan nyolot, adiknya yang kini duduk diatas karpet matanya berkaca - kaca lagi, sementara Dendra yang berdiri ditengah - tengah mereka tersenyum hangat pada Amar
Amar kembali menyeret tas berisi pakaiannya– tidak berat, tapi Amar lagi gak ada mood buat ngangkat tas
saat di anak tangga terakhir, Raka berlari kearahnya, memeluknya dengan erat "bangg" rengek Raka
"maafin Raka.. hiks.. abang boleh pergi tapi janji jangan lupain Raka ya?" isak Raka "bang Amar harus rajin kasih kabar ke Raka. Kasih tau Raka kalo Abel nakal sama abang ya, nanti Raka pukul"
Amar terkekeh kecil sambil mengelus rambut Raka, kalo begini caranya, moodnya naik seratus derajat.
—
"ish.. kemana sih tuh anak" gumam Amar kesal, sudah hampir setengah jam dia menunggu di depan gerbang rumahnya, kakinya luar biasa pegal. Amar pingin duduk tapi gak ada kursi, dia gak mau lesehan di aspal
"ayo naik, gue anterin" kata Rama setelah menurunkan kaca mobilnya
Amar mendengus, dia membuang muka dan kembali menatap handphone nya, menunggu balasan dari sang sepupu yang sialnya tak kunjung membalas pesannya
"ck" Rama berdecak, dia tak suka di abaikan, dan Amar baru saja mengabaikannya "kalo gak mau bilang, biar gue masukkin lagi mobilnya ke garasi"
tepat saat Rama mengatakan itu, Abel mengabarinya kalau dia tidak bisa jemput, lagi jalan sama Cantik katanya
alis Amar tertaut, pertanda bahwa dia lagi kesal. yang benar saja, masa dia harus semobil sama Rama?! rencananya kan, Amar mau marah sama Rama
"Amar.."
"ih.. iya iya, sabar!"
dengan muka ditekuk, Amar masuk ke mobil bagian belakang
"ngapain di belakang? emang gue supir lo?" seru Rama. Amar memejamkan mata, berusaha untuk tidak mengumpat "cepet pindah"
Amar nurut, dia pindah ke samping Rama
"gak usah cemberut, muka lo jelek" kata Rama sambil memutar stir mobil
"apasih" gumam Amar, dia mendekap kedua tangannya didepan dada, sementara pandangannya dialihkan ke luar kaca
suasana di mobil sangat hening sampai di lampu merah, Rama bersuara lagi "tadi om Dendra udah cerita semuanya"
"gue minta maaf" lanjut Rama lagi. dia menoleh ke arah Amar saat dia tidak mendapat respon apapun "lo denger gue gak sih?"
Amar masih diam, dia hanya menggigiti pipi bagian dalamnya sambil melihat-lihat mobil disampingnya
kedua alis Rama tertaut, sudah dibilang dia tidak suka diabaikan. Rama emosi, tapi waktu inget dia harus berdamai sama Amar dia menghela napas, sambil mengucap kata 'sabar' berkali-kali
selama ini Rama selalu emosi ketika melihat wajah Amar, tidak tau kenapa. bahkan ketika mendengar namanya saja dia sudah mendengus. sejak dia mendengar cerita dari Dendra, Rama jadi merasa bersalah
dia tidak menyangka adiknya sempat punya masa yang kelam. bahkan Fazril, yang notabennya adalah Ayahnya, baru tau kejadiannya barusan. jika saja Dendra tidak cerita, mungkin mereka tidak akan tau
Rama menatap Amar dalam, anak ini susah ditebak. tanpa sadar Rama mengusak rambut Amar
Amar menaikkan sebelah alisnya lalu menepis tangan Rama "gak usah pegang-pegang"
Rama tersenyum, sedangkan Amar bergidik "bang, mending cepetan anterin aku deh, abang makin serem aja kalo malem"
___________
huhuu, aku lupa kalo pernah nulis cerita ini. kirain gabakal ada yg baca ternyata ada. //trharu