Rambutnya beruban
Kerutannya bertambah
Lebih setengah abad
Hidup di dunia manusiaPunggungnya kuat
Sekuat baja ditambah baja
Lebih dari kawat
Kurang dari-tak adaHatinya tegar
Setegar karang
Walau ombak menerjang
Tanpa penuh kasih sayangPembohong paling manis
Menahan isak tangis
Dengan perut mengais teririrs
Demi anak tersenyum manis🌻🌻🌻
Ini rumah saya. Dengan lantai berubin putih, dengan dindingnya yang-warnanya-kian memudar seiring saya bertubuh. Kaki saya terseok, mengucap salam sebelum masuk. Lampu di ruang tamu remang-remang, tak ada kehidupan selain hewan berkaki empat yang menempel di dinding-menjijikan.
Setiap hari, bukan, setiap saat. Rumah ini laksamana kuburan. Hidup dengan ibuk rasanya kurang untuk rumah seluas ini, dengan taman belakang semuanya mati. Hanya ketika matahari bangkit dari peraduannya, rumah ini layaknya rumah sesungguhnya, walau nyatanya sibuk dengan masing-masing, serta merta kami tak terlalu dekat-obrolan seadanya. Saya sibuk pergi ke sekolah tiap pagi, sedang ibuk pergi ke tetangga seperti upik apu. Walau begitu ibuk itu orang tegar, tak ada lelaki, tapi bahunya senantiasa lebar. Ia perempuan paruh waktu, pundaknya memikul banyak beban, tapi disulamnya menjadi senyum menawan.
Aslinya ibuk itu cantik, sekali malahan. Dulu sering dipupuri bedak, sampai akhirnya menjadi upik abu karena salah pergaulan. Dikucilkan, keluarga membeci, dikatakan paling jalang, pencoreng nama baik keluarga! Perutnya membesar isi saya tak mau diaborsi, minta dibesarkan dengan kasih. Hingga akhirnya jadi begini nasibnya.
Malang.
Andai ibuk tak minta begitu. Pasti tiap hari tak perlu bekerja jadi pembantu, tiap hari tak perlu mengais-ngais demi sesuap nasi, atau tak perlu juga bergantian mengenalan barang eletronik supaya biaya listrik tak naik drastis. Ibu tak perlu repot-repot, tapi jadi repot.
Ketukan pelan membuat saya tersentak kecil, Ibuk dengan kerutannya sudah berdiri di ambang pintu. Tanganya menenteng plastik berwarna merah, lalu langkahnya terhenti di samping saya.
"Nak, tadi Nyonya baik sekali, ia membelikan Ibuk makan dari restoran terkenal. Apa ya namanya? Ibuk lupa, sasi, sisi, suha, su-"
"Sushi, Buk?"
"Ah, iya itu!"
Ibuk antusias, lalu membuka bungkusan yang sudah ia letakan itu. Disodorkanlah pada saya, dengan senyumnya yang mengembang.
"Nah, ini, dimakan, Nak."
"Ibuk?"
"Buat kamu saja. Ibuk enggak doyan makan ikan mentah, harganya juga mahal, enggak cocok sama lidah Ibuk. Dimakan kamu saja, biar sehat. Lihat badanmu itu, kering kerontang, hanya tulang. Habiskan saja."
Bohong.
Ibuk dulu orang kaya, tak mungkin tak tahu makanan ini. Dari mana pula Ibuk tahu ini ikan mentah padahal belum mencicipi? Dari mana tahu ini mahal padahal tak ada harga tertera?
Ibuk pembohong!
Pembohong yang mampu membuat saya menahan genangan di pelupuk mata. Pembohong yang membuat saya merasa sakit hati teramat dalam dengan sesak berkepanjangan. Ibuk bohong! Semua katanya bohong. Tubuhnya lebih kurus kerontang, hanya berlapis kulit kuning langsat.
Tangan saya perlahan menyuapkan itu ke dalam mulut. Gemetar, mengunyah dengan pelan. Hambar. Rasanya hambar. Bukan sushinya, lidah saya saja yang kelu. Tenggorokan sakit sekali, seperti tercekik mau mati. Hingga senyuman saya lemparkan dengan lebar, setelah makanan itu tertelan dengan susah payah.
"Enak!"
"Syukurlah."
Haha, dusta paling menawan.
🌻🌻🌻
Tanpa istirahat atau sekadar duduk sebentar, Ibuk sudah hilang dengan bahu berisi nampan dagangan. Sushi di hadapan saya baru termakan dua, masih sisa empat buah, tanpa berniat memakannya lagi. Selera makan hilang, lenyap seketika.Kamar saya-juga ibuk- gelap, hanya sinar syamsu dari jendela yang menerangi. Tangan saya yang basah melepas soflents yang tertempel di mata saya. Perih, perih sekali. Tubuh saya mulai dimandikan, kering dengan handuk. Dipakaikanlah baju dengan celana panjang bewarna hitam. Lalu punggung menampung tas ransel dengan satu buku dan pena.
Tepat pukul lima saya pergi, kembali mengenakan soflens lain yang serupa warnanya. Berbekal sepeda butut saya mulai mengarungi jalanan, menutup wajah saya dengan masker dan topi hitam. Hingga akhirnya setelah lima belas menit menggayuh, dengan peluh yang menetes, saya sampai pada sebuah coffe shop yang teramat instagramable.
Kaki saya dengan pelan melangkah masuk melalui pintu belakang, mengenakan sarung tangan dan embel-embelnya sebelum bertempur. Benar, kalian benar, saya bekerja part time, setiap kamis hingga minggu. Walau bukan sebagai waiters, saya cukup bersyukur diletakan di bagian pencuci piring. Setidaknya saya tak perlu repot repot mengenakan ke sana ke mari, menghantarkan makanan, tersenyum ramah ke pengunjung, dan sebagainya. Bisa-bisa tumpukkan topeng saya kian menumpuk di dinding kamar. Jangan, nanti tambah pengap.
"Senin, ini cucian numpuk. Buruan, ya!"
Tangan saya lekas membersihkan piring dan gelas-gelas yang menumpuk itu. Baru sebentar rasanya lelah sekali, pikiran saya juga sibuk memikirkan tugas fisika yang belum rampung satu nomor pun. Ah, tidak, saya tak boleh mengeluh. Ibuk saja kuat masa saya tidak. Beliau saja kerja ke sana ke mari sambil memikirkan saya, tapi tak pernah sekali pun mengeluh akan nasibnya. Ibuk hebat, kuat, saya harus sepertinya. Ayok semangat, walau kadang saya tak pernah menjadi anaknya dengan sebaik-baiknya.
Ibuk, sekali ini saja maafkan Senin. Jika selama ini Senin diam-diam kerja di sini, diam-diam mengadu nasib demi sebutir nasi yang harganya makin naik tiap tahun walau sekadar hanya serupiah. Maaf, sudah ingkar janji pada Ibuk untuk memikirkan biaya dan fokus belajar. Maaf, saya minta maaf, sudah terlampau durhaka.
Waktu berdetik tanpa titik, arusnya mulai menuju pukul sembilan malam. Selama itu pula saya panjatkan kata maaf yang tak pernah sekali pun terlontar dari mulut saya. Para pengunjung sudah bubar sedari tadi, menyisahkan para pegawai dengan peluh dan raut mengenaskan. Mereka hidup dengan beban, tanpa solusi yang tak tertemukan. Hingga Bos memanggil, memberi masing-masing amplop berwarna putih. Waktu itu lah girang bukan main. Seperti anak kucing yang diberi makan. Raut pilu, sedu, gusar, hilang sekejab mata. Berganti senyum mengembung di udara, walau setelahnya terpikir untuk membayar utang. Gagal sudah hura-hura tersayang.
Di telapak tangan saya tergenggam amplop. Putih bersih, sudah mangap-mangap pembukanya seakan minta segera ditarik isi darinya. Ini gaji pertama selama bekerja sebulan, tak berharap banyak karena memang seadanya.
Untuk Ibuk, ini gaji pertama Senin. Semoga Ibuk dilindungi sehat, tidak melulu berteman akrab dengan capek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senin (selesai)
Short StoryUntuk kamu, bagi saya Perihal mawar merah merekah Berdasi abu-abu yang kian tertata Yang sunyi dalam ramai dunia Kamsia, _______ Saya itu pecundang, pengecut, paling hina. Manusia buruk sepanjang sejarah. Hingga satu persatu semuanya terlucuti. Tela...