2| Manusia-manusia Munafik

60 7 5
                                    

Manusia-manusia itu brengsek
Dikata paling baik
Diam-diam munafik
Penuh tipu apalagi taktik

Apalagi diri sendiri
Tercelanya ditanam hingga subur
Sampai-sampai iblis libur
Lesehan, menonton hiburan seru

🌻🌻🌻

Kau tahu, Sayang. Diam-diam kau itu suka sekali membanggakan diri. Diam-diam bersikap baik, nyatanya paling munafik. Berkata, mereka bertopeng, manusia-manusia palsu, paling hina! Nyatanya pun dirimu sama saja, mukamu itu banyak sekali. Hingga kamarmu penuh, mukamu tergantung pada dinding-dinding nan usang.

Coba saja, sekarang kamu hitung itu. Ada berapa? Kutanya.

Hahaha, lucu. Sadar suah kau itu. Jadi tak apa kan jika dalam sini saya ceritakan diri saya yang tak sebenar-benarnya. Yang lupa pada cangkangnya, seperti keong sawah yang mencoba menjadi keong emas. Mustahil, tapi bisa, dicat lah cangkangnya itu. Sampai kinclong, menyilaukan.

"Anjir, si anu cipok-cipokan dong ya sama best friendnya. Dipost di IG."

"Ha? Beneran, jingan sekali hahaha. Terus anaknya gimana tuh? Padahal tuh anak juga hasil haram, bisa-bisanya sama cewek lain."

"Iya, mana ceweknya hitam, gemuk, keriting lagi, ups. Pokoknya tuh enggak banget deh. Emang gila tuh cowok."

"Nyesel elah, gua dulu ngefans sama dia. Eh, Nin, tumben lu diem-diem ae. Tahu kan lo si anu, hahaha, parah dah!"

"Eh, sorry guys, perut gua rada sakit gegara lagi dapet. Makanya gua diem-diem bae. Hahaha." Saya mengambil jeda, melirik mereka sekilas, menampilkan wajah jijik, "Iya, gua tahu kok si anu. Infeel juga sih, euw."

"Nah, bener kan. Hahaha."

Pembohong.

Munafik.

Saya tak tahu apa yang mereka omongkan. Si anu atau anaknya. Tak tahu pula siapa yang mereka rasis-rasiskan dalam gosip yang agaknya makanan sehari-hari bagi manusia. Mulut saya sedari diam, bukan karena perut terlilit, tapi karena otak saya tak habis pikir, untuk apa membicarakan orang sampai sebegitunya. Sejujurnya saya ini lebih suka membicarakan mimpi-mimpi klasik, duduk di kursi-kursi kayu ditemani teh hijau dengan tangan memegang buku-buku karya penulis favorit saya, atau sekadar bercerita bagimana menjalani kehidupan yang benar.

Namun, saya tak bisa. Bisa hilang saya. Hak apa pula untuk saya menegur mereka berhenti mencerocosi orang lain. Nyatanya saya juga insan munafik. Senin Ambara, manusia paling hina yang menggunakan topeng dalam hidupnya. Melakukan adaptasi sempurna seperti iguana melakukan mimikri. Tak ada yang sadar. Semua tertipu. Demi pertemanan dalam kebohongan. Sesekali perlu menjadi bukan diri sendiri, supaya kau tak sendiri.

Krringgg ....

Saya menghela napas. Bel masuk kelas sudah berbunyi, saat hendak bangkit, teman saya mencekal tangan saya. Melirik dengan ekor matanya.

"Mau ke mana?"

"Ke kelas, balik."

"Lho? Ngapain? Cabut aja kali hahaha, biasanya juga gitu."

"Tapi, PR gua belom. Entar Pak Teguh marahin gua gimana?"

"Alah, biasanya juga enggak ngerjain. Dah, sini-sini duduk lagi. Uno-nan."

Saya kembali duduk. Salah satu dari empat teman saya mulai membagikan kartu. Dalam tiap kartu yang terlempar, pikiran saya tak pernah merasa nyaman. Resah. Ini jika dihitung dengan tangan, agaknya lebih. Sudah dua belas kali dalam setengah semester saya cabut dari pelajaran. Pun untuk pertama kalinya, beberapa minggu lalu, ibuk saya dipanggil ke sekolah. Karena nilai saya semakin turun, hampir seluruhnya di bawah KKM.

Malu. Saya malu, tapi ibuk saya dengan baiknya masih tersenyum, walau kerutannya kian menambah. Ia hanya berkata, tak apa, semua butuh proses, sekolah juga proses, yang terpenting bahagiamu itu. Saya pun menangis sejadi-jadinya. Tambah malu saya. Dilaknat Tuhan, benar-benar biadab.

Hingga pada kartu UNO terakhir yang saya lemparkam, bersamaan dengan mulut saya mengeluarkan kata game, saya sudah memenangkan permain ini: permainan berpura-pura.

"Eh, gua ke toilet dulu, ya. Nih perut kayaknya bukan mules gegara dapet deh, bye."

"Haha, makanya diem-diem ae, ternyata mules hahaha. Dah sana, entar ngobrok di sini, hahaha."

Saya ikut terkekeh lalu sedetik setelahnya, ketika saya berhasil ke luar dari lingkaran itu, saya menjadi diri saya semestinya. Perut mules, kebelet, itu alibi. Saya tak berjalan ke toilet, melainkan ke belakang masjid, di halamam sebuah gedung nan sepi dan sedikit mencengkram.

Di sini memang tempat pelarian saya. Tak mungkin saya kembali ke kelas, bisa-bisa saya dihindari karena pengkhianat. Bisa-bisa pula eksitensi saya hilang, tak punya kawan. Jika mencari lagi, saya itu orang canggung aslinya, pembicaraan monoton, tak mengalir, membosankan.

Pantat saya merasa dinginnya lantai berubin putih, angin pelan-pelan menerpa rambut saya dengan penuh pengasihan. Saat mata terpejam, menutupi sinar syamsu yang tengah di atas kepala, kaki saya seperti dielus lembut. Saya tersenyum, menyadari tiga makhluk menggemaskan. Apalagi kalau bukan kucing.

Mereka ini spesies terlucu dalam muka bumi. Tangan saya mengelus lembut, menggendong salah satu dari mereka, agaknya sudah lebih besar dari pada dua bulan yang lalu. Suara mengeong keluar dari mulutnya, saya tersenyum, bukan ini bukan topeng, tapi sebenar-benarnya wajah saya.

Ah, hanya mereka yang bisa membuat saya menjadi diri saya. Satu persatu dari mereka saya elusi, bulu-bulunya lembut, tak tergambarkan. Satu dari mereka berwarna hitam dengan mata hijau, satunya cokelat dengan mata yang sama, tapi yang terakhir, dia beda, bulunya putih bersih, matanya biru dan cokelat.

Unik. Sama seperti saya, jika tak menggunakan softlens. Menutupi kedua iris mata saya bukan semata-mata saya malu, bahkan saya bangga, senang. Tapi perasaan itu suah hilang, saya terbully. Perbedaan dalam diri saya nyatanya dipermasalahkan, dilok-olokan, dikatakan aneh, cacat bahkan. Hingga pada akhirnya saya memutuskan menggunakan soflents semasa kelas 2 SMP hingga sekarang, menutupi perbedaan dalam diri saya dan menjadi serupa dengan mereka.

Tangan saya bergerak mengeluarkan sebuah bungkusan dalam kantung, meletakkan benda itu di hadapan mereka. Ya, makanan kucing. Namun, tak seperti yang saya lihat, mereka hanya mengendus-ngendus dan kembali mengerumuni saya.

Heran. Apa makanannya bau? Bukan, sepertinya bukan, saya baru membeli makanan itu kemarin, dan pula masih segar. Kecuali bila mereka sudah diberi makan oleh seseorang, tapi siapa? Tak ada siapa-siapa, lagi pula saya yakin hanya saya yang sering ke sini.

"Lo siapa?"

Sialan. Ternyata benar, ada orang lain. Sosok itu- tampak dari siluet bahunya- laki-laki, bertubuh jangkung. Kakinya mendekat, saya sontak menggeser tubuh ke kiri. Hingga wajahnya benar-benar terlihat jelas di mata saya.

Glek.

Orang asing.


Senin (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang