25| Menuai apa yang disemai

12 5 2
                                    

Kita menuai apa yang disemai
Tak mungkin salah memetik takdir
Segalanya suah teratur rapi
Di buku, catatan hidup sehari-hari

🌻🌻🌻

Tubuh saya yang terbalut hodie berjalan perlahan, melewati satu demi satu ubin-ubin yang tersusun di koridor. Hari ini saya memutuskan berangkat, walau terasa berat mengingat Minggu yang juga tak ada di sisi saya. Hari ini pula saya memutuskan tak memakai softlens, toh mereka semua juga sudah tahu. Biarkan saja seperti apa adanya.

Tapi anehnya, ketika mata saya menangkap basah mereka yang sengaja mengintip, tak saya temui adanya sorot merendahkan seperti kemarin, bisik-bisik-buruk-atau hinaan pun sepertinya tak saya dengar juga sejak tadi.

Ada apa?

Mengapa mereka menatap saya dengan sorot berbeda?

Ah, enyahlah. Harusnya saya bersyukur bukan tak ditatap atau dihina seperti kemarin. Dan sekarang, saya harus kembali merasakan duduk di belakang, muram, menyedihkan, sendiri, terkucilkan.

Baru saja saya hendak menenggelamkan kepala sedalam-dalamnya di lipatan tangan, suara Tari sudah dulu mengintropeksi, menembus telinga saya.

"Senin ...."

Ia duduk di sebelah saya, rautnya teramat khwatir. Dengan tiba-tiba ia memeluk saya, sekejab lalu melepaskannya yang manakala membuat saya mengerutkan dahi.

"Kamu enggak papa kan, Senin?" Saya tersenyum, Tari nampak lega tapi tidak sepenuhnya. "Maaf kemarin aku enggak bisa bantu kamu, mereka mengurungku di toilet. Tapi kamu benar-benar enggak papa kan? Kemarin kenapa enggak berangkat? Aku terus menghubungimu tapi tidak ada satupun pesan yang kamu balas."

Ah, ternyata saya sudah membuat orang khawatir-lagi. "Maaf ponselnya saya matikan. Saya perlu banyak waktu, tapi sekarang saya sudah baik-baik saja. Sungguh."

"Syukurlah." Tari menghela napas, tapi iba-tiba memekik teringat sesuatu barang kali. "Senin kamu ini sama Kak Angkasa saudara, ya?"

Eh?

Apa maksudnya?

Tunggu-tunggu, siapa yang menyebarkan rumor itu?

"Hah? Siapa yang bilang?" Saya sontak saja bertanya, terkejut tentu saja.

"Kak Agkasa sendiri yang bilang, dia kemarin bilang ke penjuru sekolah kalau kamu ini akan menjadi saudaranya."

Aduh, saya pusing. "Tunggu-tunggu, saya pusing. Bisa tolong ceritakan hal yang terjadi kemarin?"

Tari dengan antusias mengangguk. Ia mulai bercerita, menyusun kejadian awal hingga akhir secara runtut.

"Kemarin Kak Angkasa ngebantah semua rumor yang ada, dia bilang ke penjuru sekolah pakai toak kalau kamu sama dia itu enggak pacaran atau ngelakuin hal sekeji itu. Dengan lantang dia ngomong bahwa kamu itu akan menjadi saudaranya. Bahkan Pak Faiz yang ternyata ayah Angkasa juga setuju, enggak ngebantah samsek.

Kak Angkasa bahkan enggak segan-segan buat ngehajar anak-anak yang ngehina kamu. Dia, anggota band termasuk Minggu, sama aku pergi ke ruang BK. Menuntut keadilan buat kamu, karena kamu enggak pantas dapat hal ini. Untung saja Pak Faiz cukup berkuasa, serta anak band pun punya jaringan dengan sekolah, akhirnya pihak sekolah setuju. Mereka menskors ketiga anak itu selama tiga hari."

Tunggu-tunggu, kepala saya makin penat. Jemari saya memijat pangkal hidung. Jadi ini alasan mereka-mereka tadi pagi menatap saya dengan berbeda? Ini alasannya kenapa tidak ada batang hidung mereka? Dan apa ini yang dimaksud Minggu kemarin?

Senin (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang